Elang bondol yang dijadikan maskot Kota Metropolitan Jakarta rupanya tidak senasib dengan lambang maupun gambar yang tertempel pada bus-bus Transjakarta yang bebas melintasi berbagai wilayah Ibu Kota. Nasib elang bondol (Haliastur indus) bisa dikatakan mirip dengan saudaranya, elang jawa (Nisaetus bartelsi), yang populasinya makin menurun dan mengkhawatirkan akibat maraknya perburuan dan perdagangan ilegal. Harus ada upaya serius, termasuk pendanaan dari Pemerintah Provinsi DKI, agar elang bondol kelak tidak sekadar maskot yang ujudnya tak pernah dilihat warganya sendiri.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Berdasarkan hasil survai tahun 2004, populasi elang bondol di Kepulauan Seribu, Jakarta, hanya tinggal 15 ekor saja. Meski spesies ini termasuk burung dengan wilayah persebaran merata di seluruh dunia, elang bondol bukanlah burung migran atau suka berpindah-pindah tempat.
Karena itulah dibutuhkan peranserta masyarakat dan Pemerintah Provinsi dalam pelestarian elang bondol di habitatnya.
Elang bondol bukan hanya dijumpai di wilayah DKI Jakarta, khususnya Kepulauan Seribu. Meski dijadikan maskot Betawi, spesies ini juga bisa ditemukan di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan elang bondol juga terdapat di China Selatan, India, Asia Tenggara, dan Australia.
Elang Bondol berukuran sedang (45 cm), berwarna putih, dan cokelat pirang. Ketika remaja, seluruh tubuh berwarna kecokelatan dengan coretan pada dada. Warna cokelat mulai berubah menjadi putih keabuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada tahun ketiga.
Ketika menjadi burung dewasa, bagian kepala, leher, dan dada berwarna putih. Sedangkan sayap, punggung, ekor, dan perut berwarna cokelat terang, sangat kontras dengan bulu primernya yang berwarna hitam.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Selain di Kepulauan Seribu, kawasan yang juga dijadikan konservasi elang bondol adalah Taman Wisata Alam Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona, semuanya di Sulawesi Selatan. Di habitat ini, populasi elang bondol terhitung masih banyak. Namun, menurut catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Selatan, jarang sekali ditemukan sarang elang bondol di tepi danau.
Sejak 1989, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan elang bondol dan salak condet sebagai maskot kota. Di kawasan Cempaka Putih terdapat patung elang bondol sambil membawa salak condet.
Sementara di India, elang bondol dianggap sebagai representasi kontemporer Garuda, burung suci tunggangan Dewa Wisnu. Sedangkan di Pulau Bougainville, Papua Nugini, ada sebuah fabel yang menceritakan seorang ibu yang sedang berkebun dan meninggalkan anaknya di bawah pohon pisang. Kemudian si bayi melayang ke atas langit sambil menangis, dan berubah menjadi kaa’nang, yaitu elang bondol dan kalungnya berubah menjadi bulu burung.
Seperti halnya elang jawa, elang bondol juga termasuk satwa yang dilindungi dan tidak bisa diperdagangkan secara bebas. Hal ini karena populasinya di alam liar terus berkurang, meski status mereka berdasarkan IUCN Red List masih dinyatakan Least Concern (LC) atau tidak terlalu mengkhawatirkan.
Pada tahun 2004, CITES (Convention on International Trade of Endangered Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan) memasukkan elang bondo; dalam daftar Apendiks II, akibat maraknya perburuan dan perdagangan ilegal, sehingga populasinya di berbagai daerah terus berkurang.
Elang bondol biasa hidup di tepi laut, muara, rawa-rawa, atau danau. Dalam literatur perburungan internasional, burung ini disebut red-backed sea-eagleatau elang laut punggung merah.Sebagaimanaburung pemangsa jenis lain, pakan elang bondol berupa daging segar yang didapatkan dari berburu. Ayam, mamalia kecil, ikan, kepiting, hingga serangga menjadi kesukaannya.
Musim kawin tergantung lokasi habitatnya. Namun berdasarkan penelitian, elang bondol secara umum memiliki musim kawin pada November hingga Desember dan mulai berkembang biak pada Januari sampai Agustus.
Seperti kebanyakan raptor lainnya, sarang mereka berukuran besar dengan bentuk yang berantakan dan terdiri atas tumpukan ranting pohon. Tidak jarang terlihat pula beberapa sampah plastik, kain dan sebagainya yang digunakan sebagai bahan pelapis untuk sarangnya.
Sarang terkadang digunakan beberapa kali dalam beberapa musim berkembang biak. Jumlah telur umumnya hanya 2 butir, yang akan dierami induk betina selama 28 – 35 hari.
Setelah telur-telur menetas, anakan mulai belajar terbang dan bisa meninggalkan sarang setelah berusia 40 – 56 hari. Mereka akan menjadi dewasa dan siap untuk hidup mandiri setelah berusia 100 – 116 hari.
Catatan Om Kicau :
Sebaiknya hindari memelihara, membeli, maupun memperdagangkan berbagai jenis burung elang, termasuk elang bondol dan elang jawa. Meski saat ini banyak orang yang menawarkan elang di situs penjualan online, mohon jangan membelinya.
Jika apes, dan ketahuan petugas, Anda bisa diancam hukuman pidana maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 100 juta rupiah . Untuk lebih jelasnya, simak kembali artikel Om Kicau mengenai jenis-jenis burung dilindungi di sini.
—