Bagi seorang kicaumania sejati, berkunjung ke China sepertinya belum lengkap jika tak menyambangi Pasar Burung Guangzhou. Meski China juga memiliki puluhan pasar burung, Guangzhou mempunyai magnet tersendiri bagi kicaumania yang datang ke sana. Hal ini pula yang dilakukan Djon Wie, atau akrab disapai Awie, saat berkunjung ke Pasar Burung Guangzhou belum lama ini. Dia pun ingin membagi pengalamannya untuk para pembaca setia omkicau.com.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Dibandingkan dengan pasar burung-pasar burung yang ada di Indonesia, kata Awie, Pasar Burung Guangzhou jauh lebih tertata, lebih rapi, dan lebih bersih. Komoditas yang diperjualbelikan juga bukan sekadar burung, tetapi digabung jadi satu dengan pusat penjualan ikan hias, tanaman hias, batu-batuan, dan sejenisnya. Namun masing-masing terpisah dalam blok yang berbeda.
Meski demikian, jumlah kios maupun toko khusus burung sangat banyak dan lengkap. Tidak hanya aneka jenis burung, tapi juga dilengkapi dengan aneka kebutuhan burung, mulai dari sangkar ukiran gaplok hingga sangkar harian, cangkir (tempat pakan / minum) dan segala aksesoris lainnya.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Di antara deretan burung yang dijajakan pada masing-masing bird shop, yang paling dominan antara lain hwamei, kacamata / pleci, lovebird, parkit, poksay, sanma, pailing, pancawarna, bahkan ada pula kacer dan murai batu. “Kabarnya, jenis murai batu sengaja didatangkan dari Indonesia,” ungkap Awie.
Sebagai burung impor, harga murai batu di sana lumayan selangit. Burung bahan saja harganya hingga 2.500 yuan. Untuk burung muda hutan yang masih bahan di kisaran Rp 3-4 juta seekor.
Dari sekian burung yang dipajang di masing-masing kios, ada pemandangan yang menyita perhatian Awie. Sebab, dia melihat ada puluhan ekor anis merah. Ya, anis merah (Zoothera citrina) di Indonesia memiliki wilayah persebaran di Jawa dan Bali.
Berdasarkan literatur, anis merah memang tidak hanya dijumpai di Jawa dan Bali saja, karena wilayah persebarannya meliputi Asia Tenggara hingga Cina. “Sayangnya, saya belum sempat tanya soal harga anis merah di sana,” kata Awie.
Selain burung, yang paling favorit dikunjungi tamu-tamu di pasar tersebut adalah penjualan sangkar, baik sangkar harian maupun sangkar ukir gaplok. Menurut Awie, harganya bervariasi, mulai yang murah hingga puluhan juta rupiah. “Tergantung kualitas dan nama besar pengrajin atau ahli ukirnya,” tambahnya.
Bahkan, dalam kesempatan tersebut, Awie juga berkenalan dengan salah seorang pengrajin sangkar (pengukir) yang baru saja memenangkan kontes dan festival khusus sangkar burung.
Kategori penilaian meliputi motif hingga kualitas sentuhan ukiran pada bagian sangkar tersebut serta kehalusannya. Semua handmade atau hasil senuthan tangan tanpa menggunakan mesin.
Selain sangkar, di sana juga ada stand khusus yang menyediakan aneka aksesoris sangkar berupa cangkir keramik, baik yang berharga murah hingga jutaan rupiah. Satu set cangkrir (berisi 3 buah) yang berkualitas bagus dijual seharga Rp 4 juta.
Biasanya produk ini pesanan atau limited edition. Gambar dan motifnya mewah, dengan sentuhan ukir yang cantik. Apalagi bagian pada cangkir juga tertera nama goresan tangan si pembuatnya.
Awie yang sebelumnya dikenal sebagai pengorbit kenari isian, kini sedang menyiapkan Gelombang Cinta, gaco murai batu, untuk persiapannya menghadapi musim lomba tahun ini. Prestasi jawara barunya ini sudah lumayan banyak, karena sudah beberapa kali mencetak kemenangan di beragam even di Jabodetabek. (d’one)
—