Pulau Sangihe Provinsi Sulawesi Utara memiliki keunikan tersendiri. Pulau seluas 91,57 km2 tersebut menjadi habitat bagi beberapa burung endemik, termasuk seriwang sangihe (Eutrichomyas rowleyi) yang disebut-sebut sebagai spesies burung paling langka di dunia. Burung ini hanya dapat dijumpai di hutan seluas 550 hektare yang berada di Pegunungan Sahendaruman.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Untuk menjaga populasinya, juga kelestarian habitatnya, Pemerintah Kabupaten Sangihe memberi perhatian serius. Misalnya dengan menetapkan kawasan hutan yang ada di Gunung Sahendaruman sebagai hutan lindung.
–
Burung seriwang sangihe memiliki ukuran sedang (panjang sekitar 18 cm), dengan bulu-bulu yang didominasi warna biru, mulai bagian kepala hingga ekor. Bagian dada berwarna putih.
Seriwang sangihe merupakan satu-satunya spesies yang berasal dari genus Eutrichomiyas. Dalam literatur perburungan internasional, seriwang sangihe disebut sebagai caerulean paradise flycatcher.
Populasinya di alam liar saat ini diperkirakan hanya sekitar 19 – 135 ekor, lebih sedikit daripada burung ekek geling jawa (249) dan elang jawa atau burung garuda (200 ekor). Tidak mengherankan apabila seriwang sangihe kini menjadi spesies burung paling langka di dunia. IUCN dan BirdLife International pun memasukannya dalam status CR atau kritis.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
–
Seriwang sangihe pertama kali hanya diketahui dari spesimen yang dikumpulkan pada tahun 1873. Tetapi perjumpaan kembali dengan burung ini baru terjadi 125 tahun kemudian, yaitu Oktober 1998, di sekitar Pegunungan Sahendaruman yang terletak di bagian selatan Pulau Sangihe.
Beberapa tahun sebelummya pernah ada laporan mengenai perjumpaan dengan burung seriwang sangihe, namun laporan ini dianggap sangat meragukan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Orang yang pertama kali menemukan keberadaan burung ini adalah Anius Dadowali, seorang warga Desa Ulung Peliang, Kecamatan Tamako, Kabupaten Sangihe. Untuk menghormati penemuannya, penduduk setempat menyebut burung seriwang sangihe dengan nama manuk niu, sesuai dengan nama panggilan Anius yaitu Om Niu.
Saat itu, Om Niu membantu sekelompok peneliti dari Inggris dan Manado yang tergabung dalam Action Samperi. Awalnya, mereka tidak menemukan keberadaan burung ini, sehingga mereka yakin kalau seriwang sangihe benar-benar telah punah.
Ketika sedang mencari air untuk kebutuhan para peneliti, Om Niu melihat keberadaan dua ekor seriwang sangihe dengan dua anaknya di lembah Gunung Sahengbalira, Pegunungan Sahendaruman.
Bisa Anda bayangkan, bagaimana ekspresi para peneliti ketika mengetahui burung yang dianggap punah dan tak ada kabarnya selama 125 tahun, tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Kebahagian itu makin memuncak setelah mereka menemukan lagi 19 ekor burung seriwang sangihe di lima titik lokasi di kaki Gunung Sahengbalira.
Namun, di balik rasa senang tersebut, muncul kecemasan terhadap kelangsungan hidup burung-burung ini. Sebab hutan-hutan di Pulau Sangihe sudah hampir habis, dan hanya menyisakan beberapa hektare di Pegunungan Sahendaruman.
–
Secara alami, burung seriwang sangihe akan menghuni kawasan lembah dengan hutan lebat di Pegunungan Sahendaruman dengan ketinggian antara 475 – 650 meter dari permukaan laut. Burung cantik ini memang memiliki wilayah persebaran cukup sempit, hanya terpusat di lembah curam yang masih berhutan.
Dalam sebuah survei dari penelitian tahun 2006, dari sekitar 45 lembah di sekeliling Pegunungan Sahandaruma, diketahui hanya ada 21 lembah yang memiliki populasi burung seriwang sangihe. Selain itu, Sahendaruman juga merupakan rumah bagi burung terancam punah lainnya, yaitu anis-bentet sangihe, kacamata sangihe, burung madu sangihe, dan serindit sangihe.
Jumlah populasi yang sedikit dan makin menyempitnya wilayah persebaran mereka akibat konversi hutan ke lahan pertanian menjadi ancaman serius terhadap kelangsungan populasi burung-burung endemik ini.
Semoga kita bisa lebih menghargai dan mau menjaga kelestarian alam.