Banyak komoditas agrobisnis yang bisa dikembangkan di Indonesia. Salah satunya adalah komoditas madu lebah. Namun, sayangnya, masih banyak potensi yang terbengkelai, termasuk maraknya lahan mangkrak di negeri ini. Akibatnya, lebah pun kekurangan sumber pakan.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Masalah ini terungkap dalam sarasehan bertema Penguatan Peran Masyarakat Perlebahan Indonesia di Aula Fakultas Peternakan UGM Jogja, Kamis (18/12). Sarasehan Perlebahan digelar dalam rangka Lustrum IX Fakultas Peternakan UGM, dan diikuti puluhan peternak lebah madu khususnya di Jawa Tengah dan DIY, serta para mahasiswa dan akademisi UGM. Ada juga peserta yang berasal dari Jambi.
Lima pembicara tampil di sini, yaitu Prof Dr Ali Agus DAA DEA (Dekan Fapet UGM), Hengki Febrianto (pengurus Asosiasi Perlebahan Jawa Tengah), Nuhana Adryansyah (peternak lebah dari Pare Kediri), Dr Retno Widowati MSi (Unas Jakarta), dan Prof Dr Hendro Wardoyo (pakar terapi sengat lebah / apitherapy).
Salah satu topik yang mengemuka dalam sarasehan selama 4 jam, mulai pukul 09.00, itu adalah soal ketersediaan pakan bagi lebah yang makin mengkhawatirkan. “Ironis, di sekitar kita ini banyak sekali tanah terbengkelai, ribuan hektare. Padahal, kita juga kekurangan tanaman yang bisa menghasilkan pakan bagi lebah,” kata Nuhana.
Padahal lebah merupakan salah satu rantai ekosistem yang penting dalam kehidupan. Pemerintah pun diminta mau mendengar dan peduli terhadap situasi yang mengkhawatirkan ini.
Banyak upaya yang mestinya bisa dilakukan. Misalnya, memanfaatkan lahan kritis milik Perhutani maupun Perkebunan. Sebab kedua instansi inilah yang paling banyak memiliki lahan tapi belum bisa termanfaakan secara baik.
Selama ini, tanaman yang memiliki bunga dan disukai lebah belum ditanam secara intensif, tapi lebih sebagai tanaman sela atau bagian dari tumpangsari. Misalnya kapuk randu banyak ditanam di bagian pematang atau pinggir jalan. Begitu pula jenis tanaman lainnya seperti sonokeling.
Adapun tanaman yang ditanam dalam jumlah banyak dan musiman seperti jagung, bunganya hanya musiman saja. Tanaman yang berbunga sepanjang tahun seperti kaliandra juga belum dibudidayakan secara serius.
Menurut Prof Ali Agus, pakan memang salah satu problem terbesar dalam budidaya lebah saat ini. Untuk mengatasi hal ini, para peternak harus mau angon atau menggembalakan lebah ke berbagai daerah yang cukup jauh, selain perlunya penguatan kelembagaan.
“Saat ini lembaga yang menaungi kita di sini (peternak lebah-Red) belum ada. Jadi, ya mari kita yang di sini perlu menjadi relawan dulu. Apa yang harus dilakukan tahun 2015? Bagaimana agar program penanaman 1 miliar pohon yang dicanangkan pemerintah, bisa mencakup tanaman yang menjadi sumber pakan lebah,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, pihaknya bekerja sama dengan pemerintah daerah akan mengadakan program penghijauan. Tentu butuh masukan para peternak agar jenis tanaman itu pas dengan kondisi tanah, sekaligus bisa menghasilkan bunga yang disukai lebah.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Yulianto, peserta dari Banjarnegara, mengaku senang mengikuti sarasehan ini. Dia datang bersama kelompoknya dari Purbalingga dan Cilacap, sekaligus untuk mengambil 130 box lebah yang sedang digembalakan di kawasan Sidomulyo, Kulonprogo, untuk berburu madu sonokeling.
“Sudah ditaruh satu bulan di sana, tetapi sepertinya tidak panen. Sebelumnya di Prambanan, sempat panen dua kali madu sonokeling. Kegagalan panen karena faktor hujan yang merusak nektar bunga sehingga lebah tidak bisa menghisapnya,” jelasnya.
Terkadang, dia dan kawan-kawan bisa berpindah tempat sampai lima kali, namun juga gagal panen. “Kalau seminggu tidak terlihat prospek, ya pindah lagi ke tempat lain. Kalau lokasinya prospek, bisa satu hingga dua bulan di satu tempat,” tambah Yulianto.
Yuli berniat memindahkan ratusan box lebahnya ke Banjarnegara, karena sudah menjelang musim bunga jagung.
Selain pangan, problem perlebahan lainnya adalah ketersediaan bibit unggul (ratu lebah) dan pakan alternatif saat paceklik, dan honey laundry.
Honey laundry adalah madu-madu dari China yang diblok / ditolak pasar internasional, lalu diekspor ke Indonesia. Setelah dikemasulang dan diberi label made in Indoensia, madu diekpor lagi ke pasar internasional.
“Akhirnya yang kena Indonesia. Madu kita dianggap jelek dan nanti bisa ikut kena blok juga. Nah jika tidak mempunyai kelembagaan yang kuat, peternak tidak bersatu, kita tak bisa mencari solusi mengatasi hal-hal seperti ini,” kata Hengki Febrianto.
Para peserta pun sepakat kembali berkumpul dalam waktu dekat, untuk mematangkan materi yang sudah dibahas kemarin. Untuk sementara, Fakultas Peternakan UGM dijadikan tempat berkumpul. (Waca)