Pernah mendengar single figter (SF) atau bird club (BC) “membajak” pemain dan burung andalannya, hanya untuk mendongkrak poin guna memuluskan ambisi menjadi juara umum? Tentu sudah sering bukan? Kalau sudah begini, lalu apa artinya lomba burung kicauan bagi SF dan BC? Untuk menguji kehebatan burung hasil rawatannya? Wah, masih jauh panggang dari api!
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Fenomena jual-beli poin dalam lomba burung berkicau belakangan ini makin meresahkan, terutama bagi pemain-pemain yang masih ingin melihat lomba kicauan dalam arti sesungguhnya, termasuk Om Budi Indo.
Kicaumania yang mukim di Jakarta Barat itu selalu turun ke arena lomba secara perorangan. Amunisinya lumayan lengkap, bahkan sering menjuarai lomba tingkat nasional, antara lain murai batu Sensasi dan Kaisar; kacer Rolling Stone; pentet Top Speed dan Super Sonic; dan pleci Silet.
Menurut dia, lomba burung kicauan (termasuk latpres dan latber) sejatinya merupakan ajang untuk mengetahui perkembangan prestasi burung-burung hasil rawatannya. Adapun jual-beli poin seperti mencederai semangat awal para kicaumania dalam melombakan burungnya.
Karena itu, dia meminta para pengelola event organizer (EO) mapan agar berlaku lebih profesional, bersikap lebih tegas, serta jangan mau disetir oleh segelentir pemain, terutama pemain papan atas.
“Kalau sudah diintervensi pihak tertentu, tentu akan berpengaruh buruk terhadap kualitas lomba itu sendiri. Apakah lomba bisa disebut sukses jika hanya diikuti segelintir orang tertentu saja, dan tanpa diikuti peserta lain terutama dari akar rumput. Semua pemain kan memiliki hak yang sama,” ungkap Om Budi Indo.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Dia lalu mencontohkan even akbar yang belum lama ini digelar di Lapangan Banteng Jakarta. Hingga lomba berakhir, panitia belum memutuskan siapa yang keluar sebagai juara umum SF. Pasalnya, dua single fighter sama-sama mengklaim sebagai pengumpul poin terbanyak.
Padahal, jika mau jujur, banyak sekali poin kedua SF itu yang berasal dari burung-burung yang secara mendadak bergabung (atau diajak bergabung). Bukan burung koleksi SF itu sendiri. Praktik seperti ini sering disebut jual-beli poin. Sejumlah BC juga sering melakukan praktik serupa agar dapat menjadi juara umum.
Dengan niatan mengembalikan marwah lomba burung kicauan seperti dulu, Om Budi Indo berharap agar semua EO mau meniadakan gelar juara umum BC dan SF. “Pemberian gelar juara umum justru membuat jurang pemisah antarpemain,” jelasnya.
Lomba burung kicauan, menurut Om Budi Indo, adalah kompetisi untuk menikmati kicauan burung hasil rawatan masing-masing pemain. Jadi bukan jadi sarana adu pamer materi atau kekayaan.
Di sisi lain, setiap EO harus dapat memberi kenyamanan dan keamanan bagi para pemain (termasuk pemain akar rumput) untuk menyalurkan hobinya. Jadi tak boleh pilih kasih, karena pada prinsipnya semua peserta memiliki hak yang sama untuk menjadi juara. Semua peserta sama-sama penggemar burung kicauan.
Om Budi merasa miris, karena kerap melihat orang-orang yang tak berkepentingan dan non-panitia yang leluasa bolak-balik ke lapangan, bahkan masuk ke ruang panitia. “Sebaiknya hanya panitia saja yang boleh masuk ke dalam lapangan maupun ruang panitia,” tambah dia.
Mengenai pakem penilaian, Om Budi Indo mengakui, setiap EO memiliki pakem masing-masing. Tapi biasanya ada beberapa aspek penilaian yang didahulukan, yaitu irama lagu, volume, dan durasi kerja.
“Saya kasih contoh, masih ada sebagian juri dari EO tertentu yang memberi koncer A untuk burung pentet yang salto dan melintir. Harusnya yang mendapat koncer A adalah burung yang benar-benar memenuhi kriteria dan sempurna,” jelasnya.
Belajar dari kasus-kasus terdahulu, Om Budi Indo meminta para penyelenggara lomba burung harus mampu bersikap profesional: tegas, fairplay, tidak pilih kasih, dan jangan mau diintervensi pihak lain. Begitu pula soal hadiah, panitia harus bertanggungjawab sepenuhnya kepada para pemenang. (d’one)