Dulu ketika saya kali pertama masuk kota Solo, akhir dekade 1990, saya suka sekali main ke Taman Balekambang. Di sana orang bareng-bareng menggantang burung. Yang membawa burung cendet ngumpul bareng di satu tempat dan yang membawa branjangan juga ngumpul di tepat tertentu juga, demikian pula dengan pembawa jenis-jenis burung lainnya. Mereka paspus kebul-kebul ngrokok bareng dan srutap-srutup minum teh nasgitel atau kopi panas sambil mengamati dan menikmati burung-burung yang sedang berkicau bersahutan. Tidak ada penilaian tidak ada teriakan.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Saat itu, tak ada pakem kicauan yang bernama irama lagu, durasi kerja, nagen apalagi nama-nama seperti ngeplay, ngentrok, jambul dan sebagainya. Adanya hanya satu pakem: persahabatan.
Para peserta gantang bareng itu tidak dikutip biaya pendaftaran. Paling mereka dikutip uang seribu dua ribu rupiah yang akan diberikan kepada tukang sapu setempat.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Tetapi suasana itu sudah mustahil ditemukan saat ini seiring dengan semakin ramai dan berkembangnya arena lomba burung berkicau.
Kebersamaan kicaumania sekarang adalah kebersamaan dalam kecurigaan.
Kecurigaan di sana-sini
Para bos besar yang sanggup membeli burung berharga puluhan sampai ratusan juta rupiah per ekor akan merasa wajar kalau mereka menganggap burungnya akan selalu bisa melindas burung-burung orang lain. Entah bagaimana caranya, mereka merasa sangat wajar untuk selalu menang.
Sementara para kicaumania yang disebut akar rumput merasa wajar juga kalau burung mereka tidak harus kalah meski harganya cuma puluhan ribu rupiah. Mereka wajar berpandangan seperti itu karena mereka paham benar bahwa performa burung bisa naik turun. Menurut mereka, burung para bos pun ada kalanya kedatangan pilek saat mau ditandingkan atau bisa saja timbul gejala garuk sayap karena munculnya gejala kudisen. Mereka juga curiga, mana sih para bos itu tahu persis kondisi burungnya? Toh selama ini mereka tahunya burung terawat beres oleh para perawat burung. Bahkan banyak kicaumania akar rumput yang yakin benar ada bos besar yang bahkan tidak pernah melihat langsung burung yang memberikan poin nilai kepada timnya.
Para kicaumania akar rumput itupun merasa yakin bahwa di dunia ini masih banyak burung yang secara mental dan kicauan lebih unggul dibandingkan burung peliharaan yang sudah ternama di berbagai arena lomba. Hanya karena belum pernah bertanding di arena lomba, bukan berarti mereka tidak ada. Ketika mereka menemukan burung rumahan yang dianggapnya bagus, maka dengan bekal keyakinan itulah mereka berani dan mau menandingkan burungnya di arena lomba.
Nah, dua macam kicaumania seperti itulah yang kemudian dipertemukan dalam sebuah ajang lomba burung yang bisanya menimbulkan keributan.
Posisi juri dan panitia lomba
Di tengah-tengah mereka, berdiri sebuah sosok yang namanya panitia lomba, penyelanggara lomba atau event organizer (EO) atau istilah apapun namanya yang memiliki kewenangan mutlak menentukan mana burung jawara dan mara burung pecundang dalam sebuah event lomba burung.
Di dalam kepanitiaan ini ada unsur manajemen dan ada unsur juri. Manajemen berwenang dan berkewajiban menyediakan semua hal untuk berlangsungnya sebuah lomba. Mulai dari penyediaan sarana prasarana sampai pada pengadaan juri.
Nah, sementara itu jajaran juri ini notabene adalah sosok yang dibayar untuk menjalankan tugas penjurian. Mereka para juri bayaran. Atau dalam istilah saat ini adalah juri profesional. Semua hal yang disebut profesi, ada job description-nya atau paparan tugas, kewajiban sekaligus haknya. Semua kerja profesional pasti didasari apa yang disebut kode etik profesi.
Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai dan juga aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa saja yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu kegiatan dan suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan dan tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Tujuan kode etik dibuat adalah agar para profesional memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada para pemakai jasa mereka. Dengan adanya kode etik akan melindungi mereka dari perbuatan yang tidak profesional.
Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan yang naluriah, yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa serta perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan tersebut terbentuk dari masing-masing orang bukan karena suatu paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa jika dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi dia sendiri.
Nah, dalam konteks penegakan kode etik profesi ini ada yang disebut Dewan Kehormatan Profesi. Dewan ini bertugas memberikan sanki jika terjadi pelanggaran terhadap kode etik berdasarkan aturan dan ketetapan yang dibuat secara internal organisasi profesi.
Jika kita bicara dalam kaitannya dengan profesi juri dalam lomba burung, pertanyaannya adalah:
Apakah sudah ada kode etik profesi penjurian lomba burung di Indonesia ini, bahkan untuk tingkat masing-masing EO atau kepanitiaan lomba? Apakah kode etik itu sudah disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, khususnya para kicaumania, sehingga semua orang bisa memberikan penilaian terhadap kinerja para juri profesional?
Lebih jauh lagi, apakah masyarakat pengguna jasa juri profesional itu bisa melaporkan ketidaktaatan juri dalam melaksanakan profesinya? Kalau iya, kepada siapa? Apakah pernah ada semacam pengadilan profesi akibat adanya pelanggaran terhadap kode etik profesi juri lomba burung?
Sesungguhnya, pada level inilah kondisi perlombaan burung kicauan kita saat ini, di mana kebelumlengkapan manajemen penyelenggaraan dan mekanisme penilaian lomba burung sudah ditimpa lagi oleh adanya saling kecurigaan di antara kelompok kicaumania. Yakni, di satu sisi ada bos besar dan di sisi ekstrem lainnya ada kicaumania yang disebut sebagai akar rumput.
Jadi, selama dalam kepanitiaan lomba burung belum ada unsur jajaran juri profesional yang terikat oleh kode etik profesinya, disertai dengan keberadaan Dewan Kehormatan Profesi Juri, maka selama itu pula unsur penjurian di dalam lomba burung kicauan akan selalu menimbulkan permasalahan.
Dalam lomba burung saat ini, seperti kita tahu, semua jajaran juri hanya bertanggung jawab kepada panitia lomba karena dari panitialah mereka mendapatkan power. Padahal kalau kita melihat profesi dokter di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya, jika mereka melakukan pelanggaran kode etik, maka yang memberikan penilaian atau sanksi adalah Dewan Kehormatan IDI dan bukan pihak rumah sakit yang mempekerjakan mereka, yang membayar mereka.
Dus, lantas apa inti dari tulisan ini? Yup, artikel ini memang bukan hendak menyelesaikan masalah, tetapi sekadar memberikan gambaran bahwa dunia lomba kicauan burung di Indonesia masih jauh dari sebuah event lomba burung kicauan yang ideal. Tulisan ini juga saya buat hanya untuk memudahkan kita menganalisis persoalan dunia kicauan saat ini dengan harapan akan ada perbaikan di masa-masa mendatang nanti.