Om Supriyono termasuk penangkar tangguh. Tahun 2010, dia membangun penangkaran burung kacer dan punglor kembang di Perumahan Tallon Permai, Kamal, Madura, dengan bendera BRC Koboi BF. Tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga pada tahun 2011 Om Supriyono beralih menangkar murai batu.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Ternyata peralihan materi ternak tak berjalan mulus. Bahkan setahun beternak murai batu, Om Supriyono belum menuai hasil yang diinginkan. Kendala demi kendala selalu dihadapinya.
“Sebenarnya pada tahun 2012, saya sudah bisa panen anakan dari satu pasang indukan. Tapi banyak kendala yang dihadapi, terutama ketika induk membuang anakan pada umur tiga hari,” kenangnya.
Berbekal kesabaran dan terus belajar, Om Supriyono akhirnya mampu mengatasi satu-persatu permasalahan dalam breeding murai batu. Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya, induk murai batu ketika sedang mengasuh / merawat anaknya ternyata lebih suka memilih jangkrik daripada kroto.
“Ketika porsi jangkrik diperbanyak, maka induk merasa lebih nyaman dan tidak lagi membuang anaknya. Tetapi hal ini tidak bisa disamaratakan, tergantung karakter dari setiap indukan, suasana kandang, dan lain-lain,” tuturnya.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Merasa sudah dapat mengatasi sejumlah permasalahan dalam beternak murai batu, Om Supriyono memutuskan untuk membangun kandang-kandang baru, sekaligus menambah jumlah indukan menjadi 15 pasangan.
Namun lagi-lagi berbagai kendala mengadang usaha penangkaran murai batu yang dikelolanya. Misalnya trotol siap jual tiba-tiba sakit dan mati, kandang dimasuki predator seperti tikus yang sempat memangsa sepasang induk, dan berbagai masalah lainnya.
Om Supriyono menyadari, berbagai problem tersebut muncul karena terlalu banyak materi indukan, sedangkan dia hanya mengelola usaha ini seorang diri. Akhirnya, awal tahun ini, dia mengurangi jumlah indukan sehingga tinggal 9 pasangan saja, tetapi semuanya merupakan induk trah jawara atau pernah menjuarai lomba.
“Dengan jumlah indukan yang tidak terlalu banyak, saya isa lebih optimal merawat trotolan pascapanen, mulai dari meloloh hingga program pemasteran yang dilakukan di ruang khusus,” jelas pemilik ring BRC KOBOI BF tersebut.
Salah satu induk unggulannya adalah murai batu Samber Gludug yang memiliki panjang ekor 24 cm dengan mental tempur (fighter) yang luar biasa. Beberapa anakannya kerap berprestasi di lapangan pada umur yang masih belia.
Kini produktivitas penangkarannya sudah mulai lancar, meski jumlahnya tak terlalu banyak. Seekor trotolan murai batu hasil ternak BRC Koboi BF dijual seharga Rp 2,5 juta hingga Rp 4 juta, umur sekitar 2 bulan dan sudah ngevoer.
“Sekarang saya fokus pada kualitas trotolan, bukan kuantitas produksi. Apalagi permintaan pasar lebih didominasi trotolan trah lomba,” tandas Om Supriyono.
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.