Sebagian besar stakeholder kicaumania di Indonesia goncang-ganjing setelah penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2018 (selanjutnya ditulis Permen LHK No 20/2018) tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Pasalnya, selain dinilai banyak kejanggalan dan ketidakadilan mengenai penetapan beberapa jenis burung dilindungi, aturan hukum ini berpotensi besar menghilangkan multiplier effect (dampak pengganda) dari dunia hobi burung kicauan di Indonesia.
Seperti diketahui, dunia hobi burung kicauan selama puluhan tahun mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan. Dalam hobi ini, terjadi perputaran uang cukup besar dari beberapa aktivitas berikut ini:
- Jual-beli burung di pasar / toko / burung.
- Jual-beli burung jawara, yang harganya bisa mencapai jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah per ekor.
- Jual-beli sarana dan prasarana pemeliharaan burung, mulai dari sangkar, kandang, aksesoris (tangkringan, kerodong, tas ransel, dll), hingga pakan, obat-obatan, suplemen.
- Penangkaran / peternakan burung kicauan, baik skala kecil, menengah, dan besar.
- Aktivitas latber / latpres / lomba yang dikelola ribuan pemilik gantangan dan event organizer (EO).
Bahkan Presiden Jokowi menyebutkan, perputaran uang dari bisnis burung di Indonesia mencapai Rp 1,7 triliun per tahun (bisnis.tempo.co). Sebagian besar pelaku usaha di atas justru mampu menciptakan lapangan kerja bagi jutaan warga di Indoneaia. Mulai dari karyawan bird shop, karyawan bird farm, juri lomba, dan sebagainya.
Tak hanya itu, dunia hobi burung kicauan juga memiliki multiplier effect di sektor lainnya, antara lain guyub-rukun komunitas penggemar burung di berbagai daerah, sekaligus berpotensi mencegah atau menekan aktivitas destruktif seperti penyalahgunaan narkoba dan obat terlarang, dan lain-lain.
Mengenai lomba burung berkicau, banyak pejabat publik mulai dari level kabupaten / kota, provinsi, hingga pusat (termasuk Presiden Joko Widodo) yang memberikan apresiasinya dengan mengadakan even spesial seperti Piala Presiden, dan Piala Gubernur.
Ada lagi Piala Bupati, Piala Wali Kota, Piala Panglima TNI, Piala Kapolda, dan Piala Kapolres di sejumlah daerah. Hak ini membuktikan betapa komunitas kicaumania perlu dirangkul, sebagai bagian dari pemeliharaan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
Tapi penerbitan Permen LHK No 20/ 2018 menjadi antiklimas bagi Pemerintah dalam “menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara”, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam poin pertama Nawa Cita yang ditetapkan Presiden Jokowi – Wapres Jusuf Kalla.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi tentang aturan hukum terbaru tersebut. Tidak seluruhnya, tapi hanya beberapa poin, khususnya sebagaimana tertuang dalam Lampiran Permen yang merinci jenis flora dan fauna yang dilindungi.
Pasalnya, seperti dijelaskan dalam Pasal 2:
“Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3803), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Dalam aturan lama, beberapa jenis burung seperti burung murai batu, cucak hijau, jalak suren, dan cucakrowo tidak termasuk jenis burung yang dilindungi. Sekarang, berdasarkan Lampiran Permen LHK No 20/2018, keempat spesies ini termasuk dalam daftar burung dilindungi.
Perlu diketahui, aturan baru ini hanya mencabut Lampiran PP No 7 / 1999, bukan PP itu sendiri. Dengan demikian, pasal-pasal yang ada di dalam PP tersebut masih berlaku.
Pasal 5 Ayat 1 PP Nomor 7 / 1999 menjelaskan, suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kritera:
- Mempunyai populasi yang kecil.
- Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam.
- Daerah penyebarannya yang terbatas (endemik).
Ayat 2 menjelaskan, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kritena sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1, wajib dilakukan upaya pengawetan.
Mengenai Ayat 2, kita sepakat dan tak perlu berdebat. Tapi mengenai kriteria burung yang dilindungi seperti tersebut dalam Ayat 1, para kicaumania Indonesia layak mempertanyakannya.
Belum ada data populasi jenis burung dilindungi
Sampai sejauh ini, tak ada data resmi dari Kementerian LHK maupun lembaga terkait lainnya seperti LIPI mengenai total populasi murai batu / kucica hutan (Kittacincla malabarica / dulu disebut Copsychus malabaricus) di Indonesia.
Omkicau.com sudah melakukan pelacakan langsung ke website kedua institusi tersebut, dan sampai tulisan ini ditayangkan belum menemukan data yang dimaksud. Begitu pula pelacakan terhadap jenis burung kicauan lainnya yang kini ditetapkan sebagai satwa dilindungi seperti cucak hijau, jalak suren, cucakrowo, dan sebagainya.
Menurut sejumlah pejabat BKSDA di beberapa daerah, tidak diketahui berapa jumlah populasi murai batu di habitat aslinya. “Untuk menentukan jumlah populasi satwa, dibutuhkan kajian dan penelitian dari otoritas keilmuan yang terkait, misalnya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),” ujar salah seorang pejabat BKSDA di Sumatera Barat.
Sumber omkicau.com tersebut menambahkan, kalau warga masyarakat mengatakan murai batu sulit ditemukan di habitat aslinya, bisa saja itu cuma asumsi.
Karena itu, untuk menetapkan apakah murai batu terancam punah, tentu saja harus berdasarkan penelitian, dan yang berhak mengeluarkan pendapat adalah LIPI. Faktanya, tidak ada publikasi apapun mengenai populasi murai batu yang diterbitkan LIPI (silakan cek langsung di website lipi.org).
Data-data penting dari IUCN dan Bird Life
Karena tidak ada sumber resmi yang bisa menjelaskan populasi burung murai batu, cucak hijau, jalak suren, dan cucakrowo di Indonesia, mau tak mau kita harus melihat database dari beberapa lembaga internasional seperti Badan Konservasi Alam Internasional (IUCN) dan Bird Life.
IUCN didirikan pada tahun 1948 dan berpusat di Gland, Swiss. Anggotanya 1.400 badan pemerintah dan organisasi non-pemerintah, serta 16.000 orang ahli dan ilmuwan flora-fauna dari 181 negara. IUCN juga memiliki sekitar 1.000 staf, yang bekerja full time, di 50 negara. Tujuan IUCN adalah untuk membantu komunitas di seluruh dunia dalam konservasi alam.
Pada tahun 1964, IUCN mulai menerbitkan Daftar Merah / Red List mengenai status konservasi flora dan fauna di seluruh dunia. Data ini selalu diperbarui secara berkala. Dari Daftar Merah IUCN inilah, omkicau.com menyandarkan referensinya.
Dalam daftar yang dirilis tahun ini, murai batu / kucica hutan (Kittacincla malabarica / Copsychus malabaricus) masih ditetapkan dalam status Least Concern (LC) / Risiko Rendah. Artinya, murai batu belum termasuk dalam daftar burung yang hampir terancam punah / Near Threatened (NT), kendati disebutkan bahwa populasinya di alam liar mengalami penurunan.
Status konservasi LC masih lebih baik daripada NT, rentan punah / Vulnerable (VU), terancam punah / genting / Endangered (EN), apalagi kritis / Critically Endangered (CR), punah di alam liar / Extinct in the Wild (EW), maupun punah Extinct (EX).
Lihat juga Mengenal Status Konservasi Burung versi IUCN
Hal senada juga dijelaskan Bird Life. Dalam publikasinya, Bird Life menyebutkan tidak ada satu jenis burung pun di Indonesia yang berada dalam status punah di alam liar (EW) maupun punah (EX).
Mengacu pada IUCN, Bird Life menjelaskan ada 11 spesies burung yang berada dalam status DD (Data Deficient / Informasi Kurang), 1.308 jenis burung dengan status Risiko Rendah (LC), termasuk murai batu dan jalak suren, 239 spesies dengan status Hampir Terancam (NT), 85 spesies Rentan (VU), Terancam Punah (EN), dan 28 spesies burung berstatus Kritis (CR).
Adapun untuk burung cucak hijau dan cucakrowo memang ada perkembangan terbaru, di mana Bird Life dan IUCN menempatkan kedua spesies ini dalam status VU (Rentan) dan EN (Terancam Punah).
Kondisi kedua spesies tersebut justru lebih rawan ketimbang cililin / tangkar ongklet (Platylophus galericulatus) yang berstatus NT. Sejak tahun 1999, cililin sudah dimasukkan dalam daftar burung dilindungi.
Status konservasi burung cucak ijo dan cucakrowo masih lebih bagus daripada jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang tidak beranjak dari Kritis (CR). Jalak bali juga lebih dahulu dimasukkan dalam daftar burung dilindungi.
Saran pencabutan Permen LHK No 20/2018
Berdasarkan beberapa kajian ilmiah di atas, omkicau.com sebagaimana sikap beberapa organisasi perburungan seperti FKMI (baca: Tolak Permen LHK 20/2018, FKMI ajukan upaya hukum) mendesak agar Permen LHK No 20/2018 dicabut.
Kalau kemudian akan diatur atau dibuat lagi daftar baru burung dilindungi, maka harus mencapai titik keadilan bagi para penggemar burung kicauan dan pelaku usaha yang terkait di dalamnya.
1. Keluarkan murai batu dan jalak suren dari daftar burung dilindungi
Spesies murai batu dan jalak suren harus dikeluarkan dari daftar burung dilindungi versi Permen LHK No 20/2018. Pasalnya, kedua jenis burung tersebut sampai saat ini masih berstatus Least Concern (LC).
Bahkan IUCN menyebut populasi jalak suren justru meningkat. Hal ini tak terlepas dari keberhasilan para peternak dalam menangkar burung jalak suren. Boleh dibilang, hampir semua jalak suren yang ada di pasar / toko / kios burung di Indonesia merupakan hasil penangkaran / breeding / budidaya yang dilakukan anak-anak bangsa Indonesia sendiri; bukan hasil tangkapan alam.
Murai batu juga berstatus LC, meski populasinya di alam liar dianggap menurun. Namun Pemerintah RI juga perlu menyelidiki faktor penurunan populasinya, apakah karena penangkapan liar, atau justru faktor lain yang berpengaruh lebih besar seperti kerusakan hutan dan alihfungsi hutan yang memiliki dampak signifikan terhadap berkurangnya luas areal hutan yang menjadi habitat murai batu.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Di sisi lain, jumlah peternak murai batu dari tahun ke tahun terus bertambah. Sosialisasi tentang cara beternak murai batu juga sudah lama digalakkan para pengelola situs burung seperti omkicau.com. Sejumlah event organizer (EO) lomba burung pun makin sering membuka kelas murai batu ring. Para pemain pun kini lebih sering membeli murai batu ring untuk dilombakan, karena berbagai fakta telah membuktikan banyak murai batu ring yang mampu mengalahkan murai batu hasil tangkapan hutan.
Karena itu, sekali lagi, kita berharap agar Kementerian LHK segera mengeluarkan murai batu serta jalak suren dari daftar jenis burung yang dilindungi.
2. Pemerintah perlu memfasilitasi penangkaran cucakrowo
Burung cucakrowo juga berada dalam status Kritis (EN). Namun perlu diketahui, pamor cucakrowo di berbagai perlombaan saat ini sudah jauh menurun ketimbang dasawarsa 1990-an. Hampir dapat dipastikan tidak ada kelas cucakrowo dalam even latihan bersama (latber), latihan prestasi (latpres), dan lomba burung skala lokal.
Kelas cucakrowo hanya bisa dijumpai pada sebagian kecil lomba burung skala regional dan nasional. Artinya, tidak semua even regional dan nasional membuka kelas cucakrowo. Kalau pun ada, hampir bisa dipastikan tidak ada cucakrowo yang dilombakan merupakan hasil tangkapan hutan, melainkan hasil budidaya para penangkar / peternak.
Dengan alasan inilah, omkicau.com berharap agar cucakrowo juga bisa dikeluarkan dari daftar jenis burung dilindungi. Jika tidak memungkinkan, setidaknya Pemerintah RI perlu membantu serta memfasilitasi para penangkar burung cucakrowo, termasuk agar usaha mereka tidak terhalang aturan hukum.
3. Mendorong penangkaran burung cucak hijau
Mengingat cucak hijau sekarang sudah berstatus Rentan (VU), sudah selayaknya para pemikat tidak lagi melakukan aktivitas penangkarap di alam liar. Tetapi Pemerintah perlu melindungi para penjual / pedagang burung dan para pemain yang masih menyimpan cucak hijau di lapak maupun di rumah.
Kebijakan ini bisa dilakukan dalam rentang waktu tertentu, misalnya 1 tahun. Dengan demikian, staf BKSDA di setiap daerah tidak sertamerta melakukan penyitaan selama masa peralihan tersebut.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan para pedagang sudah terlanjur mengeluarkan modal untuk membeli cucak hijau. Begitu pula para pemain yang terlanjur menginvestasikan dananya untuk beli cucak hijau, terlebih burung-burung yang sudah berprestasi di arena lomba yang berharga mahal.
Kepada para pedagang / penjual dan pemilik cucak hijau, petugas BKSDA perlu memasang ring yang berbeda. Misalnya ring hijau dengan kode tertentu untuk para pedagang / penjual, sehingga tak ada penyitaan dari BKSDA selama masa peralihan.
Selama masa peralihan tersebut, pedagang / penjual harus punya komitmen untuk tak lagi membeli cucak hijau dari pedagang besar dan pemikat burung. Dengan demikian, mereka hanya fokus untuk menghabiskan stok dagangan saja.
Adapun cucak ijo yang ada di rumah-rumah perlu diberi kode ring tertentu, sekaligus diarahkan agar mau menangkarnya. Jumlah peternak cucak ijo di Indonesia memang sangat sedikit, sehingga perlu dukungan luar biasa bagi Pemerintah agar muncul penangkar-penangkar baru, sekaligus membantu mengatasi penurunan populasi cucak ijo di alam liar.
Itulah beberapa kajian sekaligus saran dari omkicau.com kepada Kementerian LHK. Semoga bisa dimengerti, dan yang terpenting disetujui.