Paguyuban Pecinta Satwa Hias Mataram (PPSHM) — Penyitaan sejumlah satwa oleh aparat berwenang di sejumlah daerah membuat kekhawatiran para penggemar / pecinta satwa hias, termasuk penangkar serta pedagang satwa impor. Mengapa? Dalam berbagai kasus, oknum aparat acapkali salah sasaran. Misalnya, aparat menganggapnya sebagai satwa dilindungi, padahal faktanya tidak demikian.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Menurut Om Budi Santosa SH, ketua Paguyuban Pecinta Satwa Hias Mataram (PPSHM), aturan hukum yang utama mengenai satwa dilindungi adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Selain itu ada beberapa turunannya, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, hingga yang terbaru Permen LHK No 92 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Agar berimbang, Paguyuban Pecinta Satwa Hias Mataram (PPSHM) yang bermarkas di kawasan Papringan, Sleman, juga selalu mengedukasi para anggotanya agar mengenal jenis-jenis satwa yang dilindungi maupun satwa-satwa yang tidak dilindungi.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Dengan demikian, setiap anggota tahu mana hewan yang boleh dimiliki dan / atau dikembangbiakkan. Jika termasuk satwa dilindungi mereka juga tahu bagaimana prosedur yang harus ditempuhnya. Edukasi serupa juga dilakukan Paguyuban Pecinta Satwa Hias Mataram kepada para penggemar satwa yang belum menjadi anggota PPSHM.
Pekan lalu, Paguyuban Pecinta Satwa Hias Mataram menggelar sarasehan dengan mengundang pembicara Om Shokhib Abdillah AMd dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Tengah. Acara ini berlangsung di rumah Wakil Ketua PPSHM, Om Bambang Ratno Saputro, di Dusun Jamblang, Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.
Om Shokhib yang juga koordinator Konservasi Keanekaragaman Hayati di BKSDA Jawa Tengah menjelaskan banyak hal mengenai penangkaran dan peredaran burung merak. Pasalnya, para anggota PPSHM umumnya menangkar burung merak. Tapi yang ditangkar merupakan satwa impor, antara lain merak biru / merak india (Pavo cristatus), merak pied (blorok), hingga merak putih, dan beberapa jenis pheasant.
Spesies-spesies tersebut tidak termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 serta produk hukum di bawahnya. Artinya, masyarakat Indonesia bebas menangkar serta mengedarkannya, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Lain halnya dengan merak hijau / green peafowl (Pavo muticus) yang merupakan plasma nutfah Indonesia. Berdasarkan Daftar Merah IUCN, spesies ini berada dalam status Endangered (Terancam Punah), sehingga tidak boleh dipelihara apalagi diperjualbelikan secara bebas.
Namun, tutur Om Shokhib, merak spalding yang merupakan hasil persilangan antara merak india dan merak hijau boleh ditangkar dan diperjualbelikan, bahkan menembus pasar dunia. “Tentu saja, para breeder harus tetap memenuhi prosedur dan syarat yang diundangkan,” ujarnya.
Kehadiran perwakilan BKSDA Jawa Tengah dalam sarasehan PPSHM ini membuat para anggotanya merasa lebih tenang. Mereka bisa mendengar langsung penjelasan dari pihak yang berkompeten mengenai satwa-satwa yang dilindungi dan tidak dilindungi, serta legalitas jika diperlukan.
“Dengan demikian, tidak ada keraguan lagi di kalangan anggota PPSHM dalam melakukan proses breeding serta peredaran satwa hias. Beberapa waktu lalu, kami sempat resah dengan maraknya kasus penangkapan atau penyitaan satwa hias,” kata Om Budi Santosa.
Jika semua prosedur terkait dengan izin tangkar sudah dipenuhi dan sesuai dengan peraturan pelaksanaan (misal PP No 7 Tahun 1999 dan PP No 8 Tahun 1999), sebenarnya tidak masalah bagi siapapun untuk melakukan aktivitas penangkaran.
Dalam PP No 8 Tahun 1999 disebutkan, jenis tumbuhan dan satwa liar bisa dimanfaatkan untuk keperluan:
- Pengkajian, penelitian dan pengembangan
- Penangkaran
- Perburuan
- Perdagangan
- Peragaan
- Pertukaran
- Budidaya tanaman obat-obatan
- Pemeliharaan untuk kesenangan
Penangkar maupun pihak-pihak yang terkait dalam perdagangan satwa juga perlu memahami regulasi baru, yakni Permen LHK Nomor P92/ 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Hal ini diperlukan demi kelancaran dan legalitas proses penangkaran, pemeliharaan, dan pengangkutan satwa.
Misalnya, untuk peredaran satwa di dalam negeri diperlukan dokumen yang disebut SATS-DN (Surat Angkut Tanaman dan Satwa – Dalam Negeri). Untuk peredaran ke luar negeri, diperlukan dokumen SATS-LN.
Jika dokumen yang diperlukan lengkap, tentu proses pengangkutan satwa akan berjalan lancar. Namun Om Budi juga berharap, para pemangku tugas hendaknya juga bersikap bijak dan sama-sama belajar mengenai jenis-jenis szatwa yang dilindungi dan tidak dilindungi.
“Tujuannya agar tak terjadi salah faham yang justru merugikan salah satu pihak. Biasanya masyarakat selalu berada di pihak yang selalu dirugikan,” kritik Om Budi Santosa.
Om Shokhib Abdillah menambahkan, apabila ada warga yang berhasil menangkar satwa endemik indonesia yang dilindungi UU, maka hasil penangkarannya menjadi satwa yang tidak dilindungi, serta dapat diedarkan atau dijualbelikan secara bebas. Tapi proses pengangkutan / perpindahan satwa itu tetap wajib meyertakan SATS-DN.
Om Shokhib mengapresiasi iktikad PPSHM yang mengundang BKSDA untuk berbicara di depan anggotanya. “Diharapkan, semua pihak yang berkepentingan dalam usaha dan hobi satwa segera melapor aktivitasnya melalui BKSDA setempat, agar tidak merasa didzalimi ketika kita tegas menegakkan peraturan,” tandasnya. (neolithikum)
Sekretariat Paguyuban Pecinta Satwa Hias Mataram (PPSHM)
Kontak: 0878-3830-5588 / 0856-4311-8011
Alamat: Jalan Ori 2 No. 6, Papringan, Sleman, Yogyakarta
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.