(1) para pedagang (ekspor-impor) tumbuhan dan satwa (dilindungi atau yang tidak dilindungi);
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
(2) para penangkar hidupan liar;
(3) para peneliti, dan;
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
(4) lembaga konservasi dan pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepedulian menyelamatkan dan pengembangan hidupan liar.
Pranata hukum Indonesia yang beberapa material pasalnya merujuk ketentuan konvensi CITES antara lain PP.No.8/1999, Kepmenhut.No.447/Kpts-II/2003, dan Permenhut.No.P.19/Menhut-II/2005. Penggunaan beberapa pasal dalam pranata hukum dimaksud, secara politis menunjukkan pemerintah Indonesia telah mengakomodir dan atau menjalankan prinsip-prinsip berdasarkan ketentuan CITES.
Dalam perspektif ekonomi-politik, keberadaan pranata hukum tersebut juga merupakan rambu-rambu antar negara mengenai aturan dan mekanisme perdagangan maupun pemanenan hidupan (satwa) liar, yang sekaligus merupakan jawaban dari konsekwensi logis bergabung dengan CITES. Untuk dipahami juga bahwa fenomena tersebut sangat terkait secara signifikan dengan pendapatan devisa negara yang berasal dari hasil perdagangan satwa.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara UU Konservasi Hayati Republik Indonesia dengan keberadaan CITES/CBD relatif sangat erat, bahkan saling mempengaruhi secara politis. Fakta ini dibuktikan dengan dimasukkannya Keppres.No.43/1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) sebagai salah satu landasan hukum dalam pembuatan Kepmenhut.No.447/Kpts-II/2003 maupun dalam Permenhut.No.P.19/Menhut-II/2005.
Jastifikasi politis lainnya yang dinilai bisa menguatkan argumentasi paragraf di atas, yaitu paparan penjelasan atas PP.No.8/1999 khususnya Pasal 43 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat ini (12) adalah konsekuensi dari prinsip unitas ekosistem global, dimana flora dan fauna Indonesia termasuk bagian yang tidak terpisahkan. Karena itu, konvensi internasional yang berkaitan dengan tumbuhan dan satwa liar seperti CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) termasuk yang harus mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dalam penetapan daftar klasifikasi jenis tumbuhan dan satwa liar.
Sekalipun pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar termasuk perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dapat dibenarkan, namun praktek perdagangan tersebut harus tetap tunduk pergaulan/hubungan internasional, juga bertujuan memfasilitasi dan atau melindungi :
(1) para pedagang (ekspor-impor) tumbuhan dan satwa (dilindungi atau yang tidak dilindungi);
(2) para penangkar hidupan liar;
(3) para peneliti, dan;
(4) lembaga konservasi dan pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepedulian menyelamatkan dan pengembangan hidupan liar.
Pranata hukum Indonesia yang beberapa material pasalnya merujuk ketentuan konvensi CITES antara lain PP.No.8/1999, Kepmenhut.No.447/Kpts-II/2003, dan Permenhut.No.P.19/Menhut-II/2005. Penggunaan beberapa pasal dalam pranata hukum dimaksud, secara politis menunjukkan pemerintah Indonesia telah mengakomodir dan atau menjalankan prinsip-prinsip berdasarkan ketentuan CITES.
Dalam perspektif ekonomi-politik, keberadaan pranata hukum tersebut juga merupakan rambu-rambu antar negara mengenai aturan dan mekanisme perdagangan maupun pemanenan hidupan (satwa) liar, yang sekaligus merupakan jawaban dari konsekwensi logis bergabung dengan CITES. Untuk dipahami juga bahwa fenomena tersebut sangat terkait secara signifikan dengan pendapatan devisa negara yang berasal dari hasil perdagangan satwa.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara UU Konservasi Hayati Republik Indonesia dengan keberadaan CITES/CBD relatif sangat erat, bahkan saling mempengaruhi secara politis. Fakta ini dibuktikan dengan dimasukkannya Keppres.No.43/1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) sebagai salah satu landasan hukum dalam pembuatan Kepmenhut.No.447/Kpts-II/2003 maupun dalam Permenhut.No.P.19/Menhut-II/2005.
Jastifikasi politis lainnya yang dinilai bisa menguatkan argumentasi paragraf di atas, yaitu paparan penjelasan atas PP.No.8/1999 khususnya Pasal 43 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat ini12 adalah konsekuensi dari prinsip unitas ekosistem global, dimana flora dan fauna Indonesia termasuk bagian yang tidak terpisahkan. Karena itu, konvensi internasional yang berkaitan dengan tumbuhan dan satwa liar seperti CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) termasuk yang harus mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dalam penetapan daftar klasifikasi jenis tumbuhan dan satwa liar.
Sekalipun pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar termasuk perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dapat dibenarkan, namun praktek perdagangan tersebut harus tetap tunduk
pada kepentingan yang lebih besar, yaitu “pelestarian lingkungan hidup” baik dalam kerangka upaya terciptanya keseimbangan ekosistem global maupun dalam upaya keseimbangan ekosistem mikro. Karena itu, pengendalian perdagangan tumbuhan dan satwa liar, senantiasa harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan konvensi internasional seperti CITES, serta dengan tidak melupakan upaya-upaya konservasi yang dilakukan di dalam negeri. Keberhasilan atau kegagalan upaya konservasi tentu bisa berakibat langsung terhadap populasi tumbuhan dan satwa, sehingga dengan demikian akan selalu terbuka kemungkinan terjadinya perubahan status terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar tertentu dari suatu kondisi yang “tidak dilindungi” menjadi harus “dilindungi”, ataupun sebaliknya.
Dalam konteks lain, meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi hasil konvensi CITES yang dalam dalam prakteknya ternyata tidak menerapkan ketentuan yang telah ditetapkan, secara hukum-politik memang tidak ada sanksi internasional secara langsung bagi Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, dampak politisnya justru berakibat negatif terhadap program kegiatan maupun bidang usaha yang dikerjakan/dikembangkan para pihak yang berkepentingan secara langsung.
Beberapa contoh peraturan perundangan Republik Indonesia yang material hukumnya dilatarbelakangi dan atau didasarkan atas pertimbangan politik internasional sesuai ketentuan-ketentuan yang ditetapkan berdasarkan hasil konvensi CITES, adalah sebagai berikut :
− UU.N0.5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41.
− UU.No.41/1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).
− Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3803). − Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3802).
− Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai Otorita Pengelola (Management Authority) CITES di Indonesia.
− Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama Di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
− Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar. − Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
− Permenhut.No. P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi. − Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
− Permenhut.No.P.01/Menhut-II/2007 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.53/Menhut-II/2006 Tentang Lembaga Konservasi.
Prakondisi Untuk Menangkarkan Burung-Burung Alam Yang Dilindungi Maupun Tidak Dilindungi
Dalam fenomena lain, perihal penangkaran burung-burung alam yang dilindungi maupun tidak dilindingi, oleh kalangan praktisi disadari secara langsung maupun tidak, dibutuhkan suatu prakondisi tertentu. Setidaknya kekhawatiran para praktisi ini menjadi perhatian serius pihak pemerintah maupun kalangan praktisi itu sendiri dengan adanya suatu solusi maupun antisipasinya.
Berangkat dari fakta lapangan khususnya mengenai kondisi habitat satwa (burung) liar di alam implikasinya dengan kesiapan dan upaya pemerintah menjaga dan menyelamatkan habitat satwa (burung) alam yang dilindungi maupun tidak dilindungi, serta dengan berbagai tekanan dalam bentuk permintaan satwa (burung) alam yang semakin meningkat, maka solusi dalam bentuk dibukanya peluang melakukan penangkaran bisa menjadi pembenarannya.
Akan tetapi, sebelum keputusan dibukanya peluang melakukan penangkaran, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dulu sebagai wujud dari bentuk prakondisinya. Elemen prakondisi yang harus dipenuhi, minimal ada empat (4) elemen penting, yaitu :
1. Kondisi habitat satwa implikasinya dengan resiko tekanan dan tingkat laju kepunahan spesies burung tertentu;
2. Resiko kematian dan peluang keberhasilan selama proses penangkaran implikasinya dengan ketertarikan serta motivasi praktisi penangkar beserta kesiapan media, sarana dan prasarana penangkaran yang dimilikinya;
3. Jumlah permintaan dan peluang pasar hasil penangkaran spesies burung tertentu dari pihak konsumen implikasinya dengan peluang dimasukkannya spesies burung tersebut dalam kategori jenis burung yang sering atau berpotensi diperlombakan, dan;
4. kesiapan dasar hukum sebagai landasan sebuah kebijakan implikasinya dengan sistem dan standar proses penangkaran. Keberadaan kondisi habitat satwa (burung) harus menjadi pertimbangan utama, karena ada kaitan erat dengan resiko tekanan dan tingkat laju kepunahan spesies burung tertentu. Apabila kondisi habitat satwa (burung) dalam faktanya menunjukkan tingkat degradasi sangat serius, setidaknya solusi alternatifnya dalam mempertahankan spesies burung yang masih tersisa tersebut, adalah melalui penangkaran. Selain dari pada itu, kemungkinan terhadap resiko kematian maupun peluang keberhasilan selama proses penangkaran harus menjadi pertimbangan prakondisi penangkaran burung-burung alam dilindungi maupun tidak dilindungi. Sebelum ada keputusan dibukanya peluang melakukan penangkaran, idealnya harus dibuktikan terlebih dahulu melalui hasil pengamatan maupun penelitian. Relevansinya dengan masalah ini, setidaknya sangat terkait dengan unsur ketertarikan, keseriusan serta motivasi para pelakunya (baca: subyek penangkar burung).
Prakondisi lainnya yang seharusnya juga menjadi perhatian khusus, adalah terkait dengan jumlah permintaan dan peluang pasar hasil penangkaran spesies burung tertentu dari pihak konsumen. Jika ternyata memang banyak peminatnya serta dimasukkan dalam kategori jenis burung yang sering atau berpotensi diperlombakan, maka solusi penangkaran bisa menjadi pertimbangannya. Sedangkan perihal paling penting dan sangat mendasar untuk prakondisi penangkaran burung-burung alam dilindungi/tidak dilindungi, adalah terkait kesiapan akan keberadaan peraturan hukum sebagai landasan sebuah kebijakan tentang penangkaran itu sendiri. Muatan material hukum dalam peraturan hukum dimaksud, harus dipastikan mengatur secara proporsional dan profesional tentang sistem dan standar proses penangkaran.
Instansi Pemerintah (Pusat, Propinsi, Daerah) Yang Memiliki Mandat Menjalankan Aturan Hukum Terkait Dengan Pemeliharaan Burung, Penangkaran Burung Dan Perlombaan Burung
Instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab secara hukum maupun politis dalam rangka mengatur, mengontrol, dan melakukan pembinaan terhadap kegiatan pemeliharaan burung, penengkaran burung, perlombaan burung, pemilikan, perdagangan, dan perburuan satwa (burung) liar adalah pihak Departemen Kehutanan. Dalam struktur organisasi dan kelembagaan Departemen Kehutanan, pihak yang secara khusus membidangi berbagai urusan terkait dengan masalah satwa (pemeliharaan burung, penengkaran burung, perlombaan burung, pemilikan, perdagangan, dan perburuan satwa [burung] liar) adalah pihak Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam cq. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Sedangkan dalam struktur Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, selanjutnya terbagi lagi menjadi lima (5) Subdirektorat sesuai dengan spesifikasi tupoksi kewenangan dan tanggung jawab yang diembannya. Kelima Subdirektorat dimaksud adalah :
(1) Subdirektorat konservasi jenis dan genetik (kebawahnya terbagi dua [2] seksi yaitu seksi pembinaan populasi dan seksi pelestarian pemanfaatan);
(2) Subdirektorat Penangkaran (kebawahnya terbagi dua [2] seksi yaitu seksi pengembangan dan seksi pemantauan);
(3) Subdirektorat Lembaga Konservasi dan Perburuan (kebawahnya terbagi dua [2] seksi yaitu seksi lembaga konservasi dan seksi perburuan);
(4) Subdirektorat Tertib Peredaran (kebawahnya terbagi dua [2] seksi yaitu seksi peredaran dalam negeri dan seksi peredaran luar negeri), dan;
(5) Subdirektorat Konvesi (kebawahnya terbagi dua [2] seksi yaitu seksi CITES dan seksi Non-CITES).
Secara lintas Departemen, terdapat juga pihak Departemen lain yang terlibat secara langsung maupun tidak. Pihak Departemen dimaksud adalah Departemen Perdagangan apabila esensi persoalannya masuk dalam wilayah urusan peredaran dan perdagangan satwa, serta soal tatacara dan mekanisme pengurusan izin ekspor-impor satwa yang diperdagangkan. Instansi berikutnya adalah Departemen Perhubungan dan Transportasi, apabila esensi persoalannya masuk dalam wilayah urusan tatacara dan mekanisme pengurusan izin transportasi.
Selanjutnya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai badan otoritas keilmuan yang apabila esensi persoalannya masuk dalam wilayah urusan penentuan status satwa maupun batas quota yang boleh diperdagangkan.
Terkait dengan soal kewenangan pihak Departemen Kehutanan mengeluarkan izin pengambilan atau penangkapan satwa liar dari habitat alam, maka landasan hukumnya di atur berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) huruf a Kepmenhut.No.447/Kpts-II/2003, yang dalam hal ini diwakili Kepala Balai (13). Sedangkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa „izin pengambilan atau penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)(14) untuk jenis yang tidak dilindungi dan jenis yang dilindungi yang ditetapkan sebagai satwa buru yang termasuk dalam Appendiks II, III dan non-appendiks CITES diberikan oleh Kepala Balai“.
Untuk perihal pengangkutan/peredaran, landasan hukum yang dinilai relevan adalah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam:
(1) Pasal 44 sampai dengan Pasal 46 ayat keseluruhan Kepmenhut. No.447/Kpts-II/2003, dan;
(2) Pasal 67 sampai dengan Pasal 79 ayat keseluruhan Kepmenhut. No.447/Kpts-II/2003.
Terkait dengan perihal penangkaran, landasan hukum yang dinilai relevan adalah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam :
(1) Pasal 47 ayat keseluruhan Kepmenhut.No.447/Kpts-II/2003, dan; (2) Pasal 74 sampai dengan Pasal 83 ayat keseluruhan Permenhut. No.P.19/Menhut-II/2005).
Untuk diketahui dan dipahami bahwa keberadaan peran dan posisi instansi pemerintah (baca: Dinas/instansi tertentu) di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya dalam hal penanganan masalah satwa (burung) (15),
secara politis tidak punya kewenangan melakukan berbagai tindakan hukum tertentu. Apabila pihak dinas/instansi tertentu di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya akan menangani masalah yang berkaitan dengan satwa (burung), terlebih dahulu harus berkoordinasi dengan pihak kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Keberadaan kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memang berada di wilayah administratif Propinsi tertentu. Sedangkan hubungan antara kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan Gubernur tidak bersifat struktural-fungsional, tetapi hanya bersifat koordinatif semata.
Analisis Hukum-Politik
Berdasarkan seluruh paparan di atas, khususnya yang terkait dengan masalah CITES dengan berbagai konsekwensinya, setidaknya dapat dipastikan bahwa para pejabat Dephut maupun pejabat daerah (Gubernur dan Bupati beserta Kepala Dinas yang dinilai relevan, Kepala BKSDA, Kapolda, Kapolres, Jaksa Hakim) relatif masih sangat minim akan wawasan, pengetahuan, serta pemahamannya mengenai penangkaran, pemilikan dan pemeliharaan satwa (liar) burung dilindungi, maupun mengenai posisi hukum terhadap kegiatan perlombaan burung berkicau.
Konsekwensi logis sebagaimana dimaksud dalam masalah ini, secara langsung maupun tidak telah menimbulkan tidak terkontrol dan terdeteksinya berbagai kegiatan illegal terkait soal penangkaran, pemeliharaan, pemilikan maupun perlombaan burung berkicau. Padahal, kesemuanya itu menjadi bagian yang harus menjadi perhatian serius bagi seluruh pejabat publik yang dinilai relevan dengan TUPOKSINYA. Hal ini menjadi sangat penting, sebagai konsewensi politik-hukum bagi pihak Pemerintah Indonesia dengan statusnya sebagai anggota CITES.
Implikasinya dengan status hukum bagi satwa liar dilindungi yang saat ini keberadaannya sedang atau masih „dipelihara, dikuasai, dimiliki“ oleh subyek hukum (bisa bersifat individu maupun secara institusi) dengan tanpa identitas maupun status hukum yang tidak pasti, secara politis bisa dikatakan bahwa „pemerintah (baca: Dephut) belum atau tidak tegas dalam menjalankan tanggung jawab hukumnya.
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.
Trims ya om, mohon maaf mau tnya lg om kalo mengenai kesehatan peliharaan burung hasil tangkaran itu wajib lapor ga om mksudnya sbg tanda bahwa burung bebas dr penyakit gt om? Ato memang sebelumnya sudah didata/sertifikasi kesehatan burung berkicau disetiap PB oleh dinas terkait/organisasi terkait gmna om. Sblmnya Trims ya Om
Enggak Om, tidak ada aturannya.
Om bnyk bnr ya UU DEPHUTnya smpe bingung sy. OM Duto yg Sepuh diPERBURUNGAN bnr ga om, maf klo slh. OM mo tanya kalo kita membeli Burung tertentu yg sdh didomestikan/pun asil tangkapan liar ditmpt PB apakah org yg membeli itu harus melaporkan jg utk kepemilikan burung dan apakah hrus dsertifikasi jg ke Sebuah Departement Pemerintah sbg mana disebutkan di atas? Hukumnya apa om kalo kita tdk melapor atas kepemilikan burung yg tdk dilindungi seperti Kenari, Jalak Nias, Cucak keling n Poci gt om & kalo seandainya seorang hoby ( pemilikan utk kesenangan) itu ingin berlanjut ke bidang penangkaran burung tertentu (tdk dilindungi) namun hanya bru ingin blm terbentuk penangkarannya Om apa kita jg hrus melaporkan dulu om utk mensertifikasikannya/hanya sebatas tertentu sj gt om? MOHON OM DIJAWAB PERTANYAAN SAYA INI, AGAR SAYA TDK SALAH JALAN NANTINYA. TRIM’S YA OM.
Untuk burung yang tidak dilindungi, tidak perlu lapor Om.