Jenis, ciri-ciri dan penyebaran ayam hutan, nih gambarannya…
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Nenek moyang ayam-ayam piaraan yang sekarang tersebar di berbagai wilayah di dunia berasal dari daerah India, Burma, Sri Langka, Semenanjung Malaka, Filipina, Sumatera dan Jawa. Ada empat spesies ayam liar yang semuanya digolongkan dalam genus Gallus. Keempat spesies ayam liar tersebut dikenal dengan sebutan ayam hutan, yaitu ayam hutan Ceylon (Gallus lafayetti Lesson), ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratti Temmick), ayam hutan merah (Gallus gallus Linnaeus), dan ayam hutan hijau (Gallus varius Shaw) (HUTT, 1949).
Ayam hutan Ceylon (Gallus lafayetti Lesson) banyak ditemukan di Sri Langka. Ciri utama ayam ini mempunyai warna bulu mirip ayam hutan merah. Pada ayam jantan, bulu bagian dada berwarna merah jingga dan coklat gelap dan yang betina mempunyai bercakbercak coklat pucat dan coklat gelap atau bercak lurik, jengger pada bagian tengahnya berwarna kuning serta telurnya totol-totol. Sayap dan ekor mempunyai lurik coklat hitam (HUTT, 1949; WALUYO dan SUGARDJITO, 1984).
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratti Temmick) tersebar di bagian Barat dan Selatan India dari Bombay sampai Madras (HUTT, 1949). Ayam jantan mempunyai warna bulu dada kombinasi antara warna hijau, hitam dan putih. Ujung sayap dan ekor mengecil seperti cacing. Bulu dominan pada jantan dan betina adalah abu-abu dan perak sedangkan pada bagian leher ada lurik putih (WALUYO dan SUGARDJITO, 1984).
Ayam hutan merah (Gallus gallus Linnaeus) tersebar meliputi dari India, Burma, Siam, Cochin, Cina, Semenanjung Malaya, Filipina, dan Indonesia. Di Indonesia dapat ditemukan di Sumatera, Jawa, Lombok dan Timor (HUTT, 1949; WALUYO dan SUGARDJITO, 1984). Ayam jantan memiliki bulu dada berwarna hitam, jengger tunggal berukuran besar dan bergerigi yang berwarna merah. Bulu leher panjang dan sempit, punggung dan sayap berwarna coklat.
Mempunyai pial dua buah yang terletak di antara kedua belah tulang rahang bawah. Bulu ekor berjumlah 14 lembar. Ayam hutan betina pada umumnya mempunyai jengger yang bervariasi, ada yang tidak tampak (sangat pendek) ada pula yang mencapai ukuran 10 mm. Sayap ayam betina bulunya berwarna merah kecoklatan dan lurik hitam. Cakarnya berwarna gelap (hitam kehijau-hijauan) dan telurnya berwarna coklat atau merah kekuningkuningan kadang-kadang ditemukan yang berwarna putih polos (HUTT, 1949; WALUYO dan SUGARDJITO, 1984; MANSJOER, 1987).
Ayam hutan hijau (Gallus varius Shaw) hanya ada di Indonesia yaitu tersebar di Pulau Jawa, gugusan Pulau Madura, Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores dan Kepulauan Alor (SUDIRO, 1993; NISHIDA et al., 1980). Ayam jantan mempunyai bulu badan berwarna dasar hitam dengan diselimuti bulu-bulu berwarna hijau mengkilap seperti sisik pada sayap dan berujung merah kekuning-kuningan bergaris hitam pada daerah punggung. Bulu leher bulatbulat kecil, berujung tumpul dan pendek, warnanya kekuning-kuningan bersisik hijau mengkilap. Jengger besar, bundar tak bergerigi, berwarna pelangi. Pial tunggal terletak di antara kedua tulang rahang, berukuran besar dan berwarna pelangi. Cuping telinga berukuran kecil, warnanya pelangi juga. Bulu ekor sebanyak 16 helai berwarna hitam mengkilap. Kaki kecil dan kuat, bersisik kecilkecil teratur rapat, warnanya coklat tua. Ayam betina mempunyai bulu dada dan bulu badan bagian bawah berwarna coklat pucat. Bulu pada sayap, punggung dan ekor warnanya coklat tua berujung kuning dan bergaris-garis hitam. Bulu ekor meruncing pada ujungnya.
Jengger ukurannya kecil, warnanya merah pucat dengan gerigi kecil-kecil. Memiliki pial sepasang berukuran kecil berwarna merah segar. Kaki berwarna coklat pucat sedikit kehijau-hijauan, sisik-sisik halus dan rapat. Telur berukuran kecil, warnanya putih kekuning-kuningan (SUDIRO, 1993).
Habitat dan tingkah laku
Ayam hutan merah hidup berkelompok membentuk suatu kumpulan yang paling besar di antara kerabatnya. Pejantan yang kuat dapat menguasai tiga sampai lima ekor betina. Pejantan muda hidup menyendiri atau membentuk kelompok sendiri sampai tiga ekor.
Ayam hutan merah dapat hidup sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut, baik di daerah kering atau hutan lebat yang lembab. Sarang ayam hutan merah terletak di pohon-pohon. Jumlah telur setiap pembiakan paling banyak enam butir. Ayam hutan merah mulai berganti bulu pada bulan Juni sampai September, dan mulai tumbuh kira-kira pada awal tahun. Makanannya berupa makanan segar yang tidak mengandung lemak. Ayam hutan yang dipelihara dapat menerima makanan berupa pelet, biji-bijian, hijauan, grit dan makanan tambahan lainnya (WALUYO dan SUGARDJITO, 1984; MUFARID, 1991).
Ayam hutan hijau merupakan unggas pesisir dan lembah-lembah yang hidup bergerombol di tepian hutan. Di siang hari, ayam ini biasa berkeliaran di rerumputan yang berbatu-batu, bersemak atau pepohonan perdu dan tidak jarang berkeliaran di dekat perkampungan terutama di persawahan atau ladang, di antara rumpun-rumpun bambu serta di antara semak-semak belukar. Setelah matahari terbenam ayam ini tidur sambil bertengger di atas dahan pepohonan. Walupun lebih menyukai iklim yang panas dan kering, namun kadang-kadang dapat ditemukan juga di tepi hutan pegunungan sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut (WOOD-GUSH, 1971).
Secara umum kehidupan sosial ayam hutan hijau terbagi menjadi dua tipe, yaitu golongan soliter dan golongan yang membentuk kelompok. Golongan yang membentuk kelompok umumnya terdiri dari dua sampai sepuluh individu berbeda dengan ayam hutan lainnya, Gallus varius bersifat monogamy (ARIFINSJAH, 1987).
Musim bertelur ayam hutan hijau sangat beragam, namun biasanya telur banyak ditemukan pada bulan Juni sampai Nopember (DELACOUR, 1977). Telur yang dihasilkan tiap satu periode enam sampai 12 butir (WOODGUSH, 1971) yang diletakkan pada sarang terdiri dari ranting, daun-daun dan rerumputan yang disusun di atas tanah di bawah semaksemak atau pohon yang tidak terlalu tinggi.
NISHIDA et al. (1985) melakukan observasi dan menemukan bahwa produksi telur ayam hutan hijau berkisar lima sampai tujuh butir dalam satu clutch.
Makanan ayam hutan hijau adalah bijibijian, rumput-rumputan, serangga, binatang kecil lainnya; seperti jangkrik, belalang dan lain lain (MUFARID, 1991). Aktivitas makan dilakukan pada pagi hari sampai pukul 07.30 dan sore hari sekitar pukul 15.30 sampai menjelang matahari terbenam (ARIFINSJAH, 1987).
PERSILANGAN DENGAN AYAM KAMPUNG
Ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius) sering dikawinsilangkan dengan ayam kampung, hasil persilangannya biasa disebut ayam Bekisar.
GRAY (1958) yang disitasi CRAWFORD (1984) mengemukakan bahwa hasil persilangan antara ayam domestik dengan keempat spesies ayam hutan telah juga berhasil dilakukan.
CRAWFORD (1984) mengemukakan bahwa hasil persilangan antara ayam domestik dengan ayam hutan merah, hidup dan dapat bereproduksi secara normal. Aktivitas perkawinan dan keberhasilan perkawinan ayam domestik dengan ketiga ayam hutan yang lain berkurang karena adanya perbedaan perilaku.
Hal ini didukung oleh penelitian polymorphisme protein darah oleh HASHIGUCHI et al. (1993) yang mendapatkan hasil bahwa kemiripan genetik ayam domestik dengan ayam hutan merah lebih dekat dibandingkan dengan ayam hutan hijau, sehingga kemungkinan hal ini yang mempengaruhi aktivitas perkawinan di antaranya. Ayam jantan hasil persilangan dengan ketiga spesies ayam hutan yang lain umumnya mempunyai kemampuan reproduksi lebih baik dibandingkan yang betina.
DELACOUR (1977) mengemukakan bahwa ayam Bekisar jantan fertil sedangkan ayam Bekisar betina bersifat infertil. Olehkarena itu yang dipelihara biasanya hanya ayam jantan Bekisar sedangkan ayam betina dipakai sebagai ayam potong.
Perkawinan ayam Bekisar jantan dengan ayam kampung betina menghasilkan keturunan yang memiliki ciri-ciri mirip dengan ayam kampung dan suara kokoknya akan berakhiran dengan “kuk” sehingga ayam ini disebut ayam
Bekikuk. Ayam hutan jantan juga dapat dikawinkan dengan ayam kate betina, akan tetapi ayam Bekisar yang dihasilkan suaranya tidak sebaik ayam Bekisar hasil persilangan antara ayam hutan jantan dengan ayam kampung biasa (TARIGAN dan HERMANTO, 1991).
Pemilihan calon induk (ayam hutan jantan dan betina ayam kampung) dipandang sebagai tahap awal yang penting sebelum melakukan persilangan, agar dapat menghasilkan ayam Bekisar yang bermutu. Oleh karena tujuan persilangan adalah untuk memperoleh ayam Bekisar dengan suara yang merdu, berpenampilan baik dan warna bulu yang indah, maka seleksi calon induk biasanya didasarkan kepada beberapa kriteria tersebut. Ayam hutan jantan yang dipilih sangat lebih baik jika telah jinak sehingga memudahkan dalam penanganan. Telah dewasa (berumur satu sampai tiga tahun) dan pemberani. Hendaknya ayam ini memiliki suara yang bagus (kokok yang keras, bersih dan melengking panjang), rajin berkokok, bertubuh besar dan sehat, jengger tebal, lebar dan tegak, bergerigi dan berwarna merah.
Induk betina ayam kampung juga menentukan mutu Bekisar yang akan dihasilkan. Seleksi pada ayam betina kampung dapat dilakukan dengan memperhatikan bentuk fisik (besarnya tidak melebihi ayam hutan jantan), berbulu tebal, koteknya keras dan panjang (diharapkan perpaduan dengan kokok ayam hutan jantan akan menghasilkan Bekisar bersuara bagus pula).
Untuk sifat kualitatif karena pada umumnya diatur oleh beberapa gen maka lebih mudah untuk dipilih sehingga dapat menghasilkan sifat tertentu yang diinginkan itu muncul pada Bekisar. Sifat kualitatif yang dapat dipilih untuk lebih meningkatkan penampilan Bekisar antara lain bentuk jengger, warna bulu, warna kulit, shank berbulu.
Perilaku pewarisan sifat-sifat tersebut telah diketahui (NOOR, 1996). Bentuk jengger ros dan pea dominan terhadap jengger tunggal sehingga bila ingin membentuk Bekisar dengan jengger tunggal dipilih induk dengan jengger tunggal karena ayam hutan jantan sudah memiliki sifat jengger tunggal. Sifat warna bulu putih dominan terhadap bulu berwarna sedangkan bulu berwarna dominan terhadap putih resesif dan bulu hitam dominan terhadap bulu merah. Sifat shank berbulu dominan terhadap shank tidak berbulu.
TARIGAN dan HERMANTO (1991 mengemukakan cara perkawinan di antara ayam hutan jantan dan ayam kampung betina untuk menghasilkan keturunan ayam Bekisar. Ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni secara tradisional dan secara inseminasi buatan (IB). Kedua cara mengawinkan ayam hutan jantan dan ayam betina kampung tersebut didasarkan pada perlakuan sebelum terjadinya proses perkawinan.
PENANGKARAN AYAM HUTAN DAN KESULITAN-KESULITANNYA
Penjinakkan ayam hutan dari sumber penangkapan di alam akan banyak menemui kendala karena sifat ayam hutan yang sangat liar. Penjinakkan diperlukan agar penanganan terhadap pelaksanaan perkawinan labih mudah dan ayam hutan jantan berani dan mau mengawini ayam kampung betina. Akan tetapi proses penjinakkan ini sangat sukar karena ayam hutan jantan hasil tangkapan pada umumnya mengalami stress berat yang berkepanjangan dan tidak jarang mengalami kematian. TARIGAN dan HERMANTO (1991) mengemukakan bahwa kematian pada umumnya terjadi karena ayam hutan sering kelabakan di dalam kandang hingga mengakibatkan luka-luka di kepala dan terjadi infeksi hingga mati atau karena stress berat sehingga tidak mau makan dan akhirnya mati. Pada prinsipnya penjinakkan ayam hutan baik jantan maupun betina memerlukan proses yang lama dan memerlukan kesabaran dan ketekunan. Upaya mengindari luka saat kelabakan dapat dilakukan dengan membuat kadang yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang diperkuat dengan jepitan bambu atau dengan merentangkan kain atau goni bekas di bagian atas dalam kandang agar saat kelabakan tidak mengenai kurungan. Kemudian kandang ditutup dengan kain dan secara bertahap dibuka sedikit demi sedikit. Kandang sebaiknya ditempatkan pada tempat yang sering dilalui orang agar terbiasa dengan keadaan yang ramai. Untuk mengurangi stress ayam harus dimandikan dua minggu sekali dengan menggunakan semprotan air terutama di musim kemarau.
Cara yang mempunyai kemungkinan berhasil lebih tinggi adalah dengan menetaskan telur ayam hutan yang dititipkan pada ayam kampung betina yang sedang mengeram dan setelah menetas dipelihara bersama dengan anak ayam kampung lainnya. Dengan cara ini maka proses penjinakkan akan lebih mudah dan anak ayam hutan akan lebih mengenal dan terbiasa dengan ayam kampung lainnya sehingga pada waktu dewasa ayam hutan jantan akan lebih mudah untuk dijodohkan dengan ayam kampung betina.
Penangkaran ayam hutan adalah cara terbaik untuk tetap dapat mempertahankan populasi ayam hutan dan untuk keperluan pembentukan ayam Bekisar. Penangkaran akan lebih mudah dilakukan dengan jalan penetasan dan pembesaran bersama ayam kampung. Apabila diperoleh beberapa ekor anak jantan dan betina hasil penetasan dan pembesaran, ini dapat dijadikan sebagai stok awal dalam memperbanyak populasi ayam hutan yang ada tersebut.
Penangkaran ayam hutan dan mengembangkan populasinya tidak cukup mudah walaupun ayam hutan yang dipelihara sudah cukup jinak. Ayam hutan adalah salah satu satwa liar yang mungkin dapat dibudidayakan akan tetapi sukarnya ayam hutan dalam berkembang biak merupakan salah satu masalah yang akan dihadapi jika akan dibudidayakan. Hasil penelitian
NURDIANI (1996) selama 90 hari terhadap lima pasang ayam hutan menunjukkan bahwa ayam hutan yang dipelihara di dalam kandang tidak pernah melakukan perkawinan walaupun telah disekandangkan bersama setelah enam bulan. Hal ini terjadi diduga karena ayam hutan tersebut masih mengalami cekaman/stress karena pengandangannya sehingga menurunkan fungsi sistem reproduksinya.
Kesukaran dalam perkembangbiakan ayam hutan nampaknya dapat diatasi jika ayam huatan dipelihara dengan tidak dikandangkan yaitu di dalam lingkungan yang mirip dengan habitat aslinya. Hasil penelitian NURDIANI (1996) menunjukkan bahwa ayam hutan yang dipelihara di dalam kubah Taman Burung, Taman Mini Indonesia Indah dapat berkembangbiak sepanjang tahun dan bahkan tidak mengenal musim kawin seperti ayam hutan di habitat alamnya yang berlangsung sekitar bulan Juli dan Nopember. Dengan tempat hidup yang memiliki lingkungan yang nyaman sepanjang tahun dan menjamin ketersediaan bahan pangan yang cukup, nampaknya dapat meningkatkan perkembangbiakan ayam hutan.
PELESTARIAN AYAM HUTAN
Di Indonesia, masalah pelestarian alam difokuskan kepada tiga aspek utama yaitu perlindungan proses ekologi sebagai pendukung kehidupan, pengawetan keragaman genetika dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam.
Tekanan penangkapan ayam hutan untuk diperjualbelikan maupun untuk pembentukan ayam Bekisar dapat mengganggu populasi ayam hutan di alam. Faktor kondisi ekonomi masyarakat yang masih rendah dapat menyebabkan sumberdaya alam ini menjadi sasaran empuk untuk dikomersialkan. Di samping itu bertambahnya penduduk juga akan secara perlahan mengganggu habitat alam ayam hutan sehingga ayam hutan kehilangan areal habitat hidupnya.
Walaupun ayam hutan saat ini belum termasuk satwa liar yang harus dilindungi akan tetapi melihat nilai ekonomi yang dimiliki maka konservasi untuk mempertahankan populasinya perlu mendapat perhatian sejak dini agar tidak terlambat.
Menurut ALIKODRA (1990) konservasi satwa liar, sebagai bagian dari konservasi sumberdaya alam secara umum, merupakan kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan satwa liar. Tujuan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya baik langsung maupun tidak langsung berdasarkan prinsip kelestariannya. Pola konservasi satwa liar di Indonesia mengikuti strategi konservasi dunia, yaitu tidak saja bertujuan untuk melestarikan spesiesspesies yang ada tetapi juga berusaha untuk memanfaatkannya bagi kesejahteraan manusia secara lestari. Dalam pelaksanaannya, konservasi satwa liar diselenggarakan baik di habitat alamnya (in situ) maupun di luar habitat almnya (ex situ) dengan cara penangkaran. Konservasi secara in situ biasanya dilakukan di beberapa Taman Nasional yang ada di Indonesia. Taman Nasional Baluran Purwo Ijen NP di Jawa Timur memasukkan ayam hutan dalam daftar satwa liarnya sebagai satwa liar yang unik dan dilindungi di dalamnya (HADISEPOETRO dan WARDOJO, 1991).
Pelestarian ex situ ayam hutan saat ini antara lain dilakukan di Kebun Binatang, Taman Safari, Taman Burung (Taman Mini Indonesia Indah). Agar tujuan konservasi ayam hutan dapat terwujud maka perlu dilaksanakan suatu system pelestarian yang melibatkan peran serta masyarakat. Untuk melibatkan masyarakat pengguna menjadi pelaksana pelestarian maka harus dikembangkan konsep bahwa pemanfaatan satwa ayam hutan memerlukan pelestarian dan pelestarian dilakukan untuk pemanfaatannya. Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk maksud tersebut adalah melalui pengembangan budidaya ayam Bekisar. Peran serta masyarakat pengguna ayam hutan untuk juga berupaya membudidayakan ayam hutan perlu ditingkatkan sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan/lestari.
KESIMPULAN DAN SARAN
Permintaan ayam Bekisar di masa mendatang diduga akan semakin meningkat yang akan diringi meningkatnya eksploitasi terhadap ayam hutan. Keadaan ini dan juga perusakan hutan yang merupakan habitat ayam hutan yang sangat cepat berpotensi menyebabkan punahnya ayam hutan, oleh karena itu upaya pelestarian perlu untuk dilakukan.
Pemanfaatan ayam hutan untuk kepentingan pembentukan ayam Bekisar sebenarnya merupakan faktor pendorong bagi pelestarian spesies ayam hutan, karena ayam hutan hasil penangkaranlah yang lebih baik, mudah serta mempunyai peluang besar berhasil untuk dipergunakan dalam pembentukan ayam Bekisar.
Motivasi para peternak pembentuk ayam Bekisar perlu juga diarahkan untuk melakukan penangkaran ayam hutan agar pemanfaatannya dapat tetap terus lestari. Peran serta dan partisipasi berbagai pihak dalam pelestarian in situ dan ex situ ayam hutan perlu terus didorong agar upaya pelestarian dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
ALIKODRA, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas-Institut Pertanian Bogor. Bogor.
ANONIMUS. 1991. Mencetak Aneka Bekisar. Bonus Trubus September XXII (262).
ARIFINSJAH, D. 1987. Studi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius) SHAW and NODDER, 1798 dan Kemungkinan Pengelolaannya di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. (Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan. Institut IPB Pertanian Bogor. Bogor.
CRAWFORD, R. D. 1984. Domestic fowl. In : Evolution of Domesticated Animals. I. L.
MASON (editor). Longman Group Ltd. London and New York.
DELACOUR, J. 1977. The Pheasant of the World. 2nd ed. Spur Publ. and the World Pheasant Assoc.
Surrey.
HADISEPOETRO, S. dan W. WARDOJO. 1991. Status of national parks management in Indonesia. Tigerpaper XVIII (1) : 16-20.
HASHIGUCHI, T., T. NISHIDA, Y. HAYASHI, Y. MAEDA, and S. S. MANSJOER. 1993. Blood protein polymorphisms of native and jungle fowls in Indonesia. AJAS 6 (1) : 27-35.
HUTT, F. B. 1949. Genetics of The Fowl. Mc Graw- Hill Book Co, Inc., New York, Toronto, London.
MANSJOER, S. S. 1987. Habitat dan performans ayam hutan di Indonesia. Media Peternakan 12 : 1-7.
MUFARID, H. 1991. Beternak Ayam Hutan. Swadaya. Jakarta.
NISHIDA, T., Y. HAYASHI and K. KONDO. 1980.
Ecological and morphological studies on the Red Jungle Fowl and the Green Jungle Fowl in Indonesia. Report of The Research Group of Overseas Scientific Survey.
NISHIDA, T., Y. HAYASHI, T. HASHIGUSHI, S. S.
MANSJOER. 1985. Morphological identification and distribution of Jungle Fowls in Indonesia .Japan. J. Zootech. Sci. 56 (7) : 598-610.
NOOR, R. R. 1996. Genetika Ternak. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
NURDIANI, N. 1996. Studi Perilaku Seksual dan Hubungan Pola Hormonal dengan Beberapa
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.
Komentar Terbaru