Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Dengan lap basah Bambang membersihkan bulu ekor mulai dari pangkal hingga ujung yang menjuntai ke bawah. Sambil membersihkan, tak lupa ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan itu merapikan bulu-bulu yang kisut atau terlipat. ‘Supaya bulu ekor tampak bagus,’ katanya. Ritual itu dilakukan selama sekitar 1,5 jam sekaligus mengecek pakan dan minum. Pada akhir pekan, baru ayam dimandikan.
Koleksi ayam onagadori Bambang mencapai 80 ekor. Ayam-ayam itu bergiliran dibersihkan. Setiap hari minimal 25 ekor onagadori ia rawat sendiri dibantu oleh istri dan kedua anaknya. Onagadori-onagadori itu diperoleh setelah Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Daerah Kochi di Jepang bekerja sama dalam program Twin City pada Juni 1998. ‘Pada waktu itu saya diserahi tugas untuk menetaskan 183 telur onagadori dari 258 telur yang diberikan,’ katanya. Sisanya, sebanyak 50 butir diserahkan ke kebun binatang Surabaya dan 25 butir kepada mantan Walikota Surabaya, Sunarto Sumoprawiro.
1.000 ekor
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Dari 183 butir itu hanya 71 butir yang menetas. Namun, ketika berumur sehari 27 anakan onagadori mati. Dari 44 ekor yang bertahan hidup itulah Bambang melakukan breeding hingga onagadori koleksi sempat mencapai 1.000 ekor pada 2001 – 2002.
Ayam koleksi pria kelahiran Madiun pada 1958 itu rata-rata memiliki panjang ekor lebih dari 1 meter. Beberapa ekor hampir mencapai 2 meter. ‘Bulunya harus dijaga benar supaya tidak kotor dan cepat rontok,’ ucap ayah 2 putra itu.
Selain membersihkan ayam yang pada abad ke-16 bulu ekornya dipakai sebagai hiasan topi para shogun – tentara kerajaan di Jepang – itu Bambang juga disibukkan menetaskan telur onagadori dalam inkubator.
Maklum beberapa ayam berpasangan dan kawin. ‘Sebulan bisa 50 telur,’ kata Bambang yang menjual onagadori itu kepada kolektor lain dengan harga bervariasi.
Kandang sempit
Masih di kota Pahlawan ada Wim Indra Gunawan. Wiraswastawan kelahiran Malang 1957 itu memiliki onagadori yang dibeli dari Bambang. Sejak 2005 kolektor berbagai jenis hewan seperti ular, kelinci, dan anjing itu tertarik pada onagadori setelah menyaksikan keindahan ekornya yang menjuntai. Wim kini punya 35 onagadori berumur 1 – 3 tahun yang hidup berbarengan dengan koleksi ayam lainnya seperti serama dan ayam ketawa. ‘Total koleksi ayam saya mencapai lebih dari 200 ekor,’ kata Wim yang merawat semua koleksinya di lantai 3 rumahnya seluas 6 m x 4 m.
Onagadori ditempatkan di kandang sempit berukuran 80 cm x 40 cm. ‘Mungkin terlihat seperti kerangkeng, tetapi kandang seperti itu perlu agar onagadori tidak banyak bergerak,’ tuturnya. Harap mafhum, jika ayam banyak bergerak, bulu ekor mudah tersangkut kayu atau kawat yang berujung bulu rontok.
Kecintaan pada onagadori membuat Wim hampir setiap hari selalu berada di antara koleksi ayamnya. Saat tak bisa tidur, misalnya, Wim memilih menyambangi kandang ayamnya. Yang dilakukan sekadar memberi makan dan minum, membersihkan dan mengelus bulunya, hingga memilah-milah induk siap kawin. ‘Hidup saya berasal dari ayam,’ tutur Wim.
Saat ada waktu senggang, ayah 3 anak itu menaruh beberapa koleksinya dalam sangkar burung. Lalu menggantung sangkar itu di teras seperti burung kicauan. Menurut Wim onagadori termasuk tipe ayam tenang sehingga meski ditaruh di tempat tinggi, ia tidak akan terbang turun. Wim pun dapat menatap dan mengagumi keindahannya sambil menikmati kudapan.
Itu pula yang dilakukan Bambang untuk menikmati onagadori. Ia membuat palang kayu sebagai tempat berpijak si ekor panjang itu. ‘Onagadori yang panjang ekornya hampir 2 meter itu sudah saya letakkan di atas palang kayu sejak 2 tahun lalu dan tidak pernah sekalipun dia turun,’ ucapnya sambil menunjuk 2 ekor koleksi yang berdiri tegak di atas palang kayu kepada Trubus.
Bambang dan Wim memang telah kepincut onagadori. Bagi mereka meluangkan waktu bersama si ekor panjang memberi kenikmatan tersendiri. ‘Kalau sudah cinta, susah sekali untuk lepas,’ ujar Wim berfilosofi. (Endah Kurnia Wirawati– Trubus Online)