Serema, ayam mungil nan indah. Sempat menurun jumlah penggemarnya, sekarang bergerak menanjak grafik popularitasnya. Dunia hobi agrobisnis termasuk burung dan ayam, sekarang memang sedang menanjak jumlah pemainnya. Dalam kasus serema, beberapa waktu lampau penggemar ayam ini tinggal beberapa gelintir.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
“Sebagian besar serama itu saya potong dan goreng,” kenang Arif Rahman Hakim ketika wabah flu burung merebak pada 2006. Hobiis di Durensawit, Jakarta Selatan, itu menyisakan 10 serama yang kini beberapa di antaranya menjadi induk.
Arif, sebagaimana ditulis Majalah Trubus, hanya segelintir hobiis yang bertahan memelihara serama saat pandemi itu terjadi. Harap mafhum, gara-gara flu burung banyak peternak dan hobiis di berbagai kota di tanahair berhenti lantaran muncul pelarangan memelihara unggas di perkotaan. Belum lagi ketakutan terpapar flu burung bila memelihara unggas.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
“Harga serama saat itu langsung jatuh bahkan tidak laku dijual,” kata Arif yang ketika itu mengoleksi 50 ayam terkecil di dunia dengan bobot rata-rata 350 – 400 g/ekor.
Walhasil takdir sebagian besar serama milik Arif itu berakhir di atas wajan penggorengan. Serama yang masih dirawat tetap rajin bertelur. Telur-telur itu juga bernasib sama. Bila tidak menjadi telur dadar, Aditya suka sekali merebusnya. “Karena itu serama di rumah tidak pernah bertambah, tetap saja 10 ekor,” kata Arif.
Pascaflu burung mereda pada pengujung 2009, pemilik Sakura Serama Farm itu mulai tekun kembali membiakkan serama-serama simpanan itu. “Sampai sekarang ada seekor induk betina berumur 7 tahun yang sangat produktif,” kata Arif. Dari betina itu kini Arif sudah memperoleh 7 anakan serama yang beberapa bulan ke depan siap mentas di kontes.
Berkokok
Nun di Palembang, Sumatera Selatan, ada Bernie Muhammad. Seperti Arif, saat flu burung merebak, ketua Komunitas Pelestari Ayam Serama Sumatera Selatan (KAPASS) itu hanya menyisakan 2 pasang induk serama dari 80 serama koleksinya yang dirawat sejak 2004. “Biar ada suara kokok ayam saja kalau pagi,” alasan Bernie. Yang lainnya, sebagian kecil Bernie titipkan dan mayoritas dijual murah.
Murah? Sebagai gambaran, sebelum flu burung merebak Bernie dapat menjual sepasang induk seharga Rp 3-juta – Rp 5-juta. Begitu flu burung menerpa, harga sepasang induk melorot tajam menjadi Rp 500.000. Itu pun terhitung lumayan karena, “Menjual sepasang saja susahnya setengah mati,” ujar kontraktor dan pengusaha karet itu.
Bernie kembali bersemangat setelah wabah flu burung mereda pada pertengahan 2009. Apalagi di jejaring sosial facebook Bernie memantau komunitas serama mulai ramai lagi. “Induk serama yang dulu saya titipkan, anakannya saya ambil lagi,” kata Bernie yang juga membeli dari hobiis lain. Saat ini di rumah Bernie ada 10 pasang induk dewasa dan 25 anakan berumur 3 – 6 bulan.
Menurut Santo Prabowo dari Faradina Farm di Tangerang, Provinsi Banten, isu flu burung benarbenar membuat dunia serama di tanahair berada di dasar. “Banyak yang terpukul karena sudah mengeluarkan modal tak sedikit,” katanya. Santo sendiri tetap bertahan dengan memindahkan sekitar 80-an serama koleksi ke daerah lain yang jauh dari pemukiman penduduk. “Saya sampai beli lahan baru untuk lokasi kandang,” ujar Santo.
Sejatinya pemandangan serupa juga tampak di negeri jiran, Malaysia, yang saat wabah flu burung masih merupakan importir serama. “Di sini semua peternak berhenti. Saya sendiri menyembunyikan beberapa ekor untuk koleksi saja,” kata The Leong Teh, penangkar di Pulau Penang, Malaysia. Selain mengirim ke Indonesia, saat itu Mr Chooi – panggilan akrab – juga mengekspor ke Inggris.
Bertahan
Hobiis seperti Arif, Bernie, dan Santo, memiliki satu kesamaan saat memutuskan untuk terus merawat serama. Mereka berangkat dari hobi. “Kalau sudah hobi memang sulit untuk ditinggalkan begitu saja,” kata Santo. Itu pula yang membuat Andrie Handoko, hobiis lain di Pekanbaru, Riau, ngotot memelihara serama miliknya yang berjumlah ratusan ekor.
“Kalau tidak lihat atau dengar suara ayam seperti ada yang hilang,” kata kepala cabang sebuah perusahaan ekspedisi dari Medan, Sumatera Utara, itu. Andrie tak terlalu menghiraukan gunjingan-gunjingan yang datang.
“Saya tetap jalan saja, meski saat itu tidak lagi menetaskan telur,” tambah Andrie. Telur-telur itu paling pol dibagibagikan untuk karyawan atau sebagai bahan baku membuat kue.
Sejauh ini Andrie merasa diuntungkan karena masih menyimpan sejumlah besar serama. Di saat pemain lain mulai mengimpor kembali, Andrie cukup menggenjot produksi serama yang ada. Dari sana sejak Oktober 2010 hingga Januari 2011, ayah 1 puteri itu sudah menjual sekitar 70 ekor serama ke Pulau Jawa dengan nilai minimal Rp 2-juta per ekor. Itulah berkah bagi mereka yang bertahan di serama.
Trubus Cup 2011
Naiknya pamor ayam serema terlihat dari ajang Trubus Cup 2011 yang digelar di ruang lobi timur WTC Mangga Dua Jakarta Pusat dipadati pengunjung.
Di ruang lobi itu, seperti dilaporkan Trubus, sore itu mendadak meriah. Maklum, Rudi Pelung, koordinator juri, mengumumkan hasil voting best of the best (BOB) dari 6 juri. “Nomor 2,” kata Rudi membacakan hasil pemungutan suara ke-4 yang langsung disambut sukacita pendukung ayam serema berjuluk Black Star.
Pendukung Black Star pantas gembira karena 3 suara sebelumnya juga memilih nomor 2 sebagai BOB. Selama 5 menit tampil menghadapi kampiun lain seperti Michael Jackson, Urban Galaxy, dan Super Star, Black Star tampil prima dengan berkali-kali membusungkan dada sambil sesekali berjalan. “Black Star bergaya atraktif. Jarang ditemukan serama berpenampilan seperti itu, perbandingannya bisa 1:100,” ujar Agustinus Agus, juri asal Surabaya. Pantas bila 5 dari 6 juri mendaulat serama berumur 9 bulan yang juga meraih juara ke-1 kelas tanpa lawi di kontes Serama ASEAN di Kelantan, Malaysia, itu sebagai BOB.
Michael Jackson, jawara kelas dewasa A yang meraih 1 suara di babak BOB itu bukan lawan ringan. Bermodal sosok fisik dan aksi panggung memukau, serama milik Ajong itu tak kalah bergaya. Terbukti serama yang juga meraih juara ke-1 di kelas utama kontes di Pondokgede, Bekasi, itu menaklukkan 13 pesaing di kelasnya.
“Penampilannya komplet. Lawi panjang, gaya menyelamnya bagus, dan sering mengangkat kaki,” kata Prima Husada, juri asal Surabaya. Sayangnya di babak BOB aksinya agak menurun. “Ia hanya bergaya di satu tempat, berbeda dengan Black Star yang berlenggak-lenggok ke sana ke mari,” ujar Agustinus. Sebelumnya Black Star melibas 21 pesaingnya di kelas jantan muda.
Bersaing ketat
Di kelas dewasa B, pertarungan tak kalah ramai. Hampir semua kontestan tampil prima. Di kelas ini Urban Galaxy milik Don Ralls Cobain keluar sebagai juara. Serama berbobot 386 g yang dibeli dari Malaysia pada Oktober 2010 itu tampil lincah bergerak sambil membusungkan dada. Semua itu berkat latihan yang diterapkan Ralls. “Urban Galaxy dijemur dalam kurungan di atas meja berkarpet setiap pagi dan sore. Itu untuk melatihnya tampil di kontes,” kata Ralls.
Keperkasaan serama berbulu hitam dan cokelat itu tak diragukan lagi. Buktinya, setiap kali kontes, serama yang pernah juara di Penang, Malaysia, itu meraih juara. Contohnya kontes di Blitar pada 21 November 2010, Urban Galaxy meraih juara ke-2. Sementara kontes di WTC Mangga Dua, Jakarta Pusat, 12 Desember 2010 dan Banyuwangi, 19 Desember 2010, masing-masing meraih gelar juara ke-1 di kelasnya.
Di kategori jantan remaja, Super Star milik SP Serama dari Surabaya dikukuhkan sebagai jawara. Serama peraih gelar BOB di kontes serama ASEAN, Kelantan, Malaysia, pada Oktober 2010 itu berhasil meraih nilai dengan total 50 poin. Langkah tegak serama berumur 6 bulan itu berhasil melibas Saratoga koleksi Bernie Muhammad dan Kapuk milik Acep Umar.
122 peserta
Kontes Serama Trubus Cup 2011 yang diprakarsai Trubus bekerja sama dengan Asosiasi Penggemar Ayam Serama Indonesia (APASI) dan WTC Mangga Dua itu mempertandingkan 6 kelas: dewasa jantan A, dewasa jantan B, jantan muda, jantan remaja, indukan betina, dan anakan, dengan total peserta 122 ekor.
Tiga kelas membludak jumlah pesertanya seperti jantan muda, jantan remaja, dan anakan, masing-masing diikuti 22, 25, dan 29 peserta. “Itu menandakan banyak serama hasil budidaya lokal yang berkualitas,” kata Rully Kardiatna dari APASI. Rully pun optimis serama di tanahair akan semakin bagus dan bisa menyaingi serama impor.
Di luar dugaan kontes serama yang digelar pada 16 Januari 2011 itu mendapat sambutan luar biasa dari penggemar ayam terkecil di dunia itu. Buktinya peserta tak hanya datang dar i Jakar ta, tapi juga Tangerang, Bekasi, Bandung, Palembang, Banyuwangi, Kudus, Kediri, Jember, dan Surabaya. Animo penonton bagus. Meski kontes diwarnai hujan, mereka rela berdesak-desakan di luar arena. Acara kian marak dengan digelarnya lelang ayam serama. Johan Nasution, hobiis asal Bekasi, memenangkan lelang serama jantan remaja milik Santo Prabowo dari Faradina Farm seharga Rp 1-juta.
Kontes lain
Sebelumnya, pada 19 Desember 2010, juga digelar kontes serama di 2 kota: Banyuwangi, Jawa Timur, dan Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat. Yang disebut pertama itu melombakan 7 kelas: dewasa A, dewasa B, muda, remaja, betina, anakan, dan ekshibisi. Meski perdana, kontes yang digelar di Taman Sritanjung, Banyuwangi, itu mendapat respon luar biasa. Tercatat ada 96 peserta asal Kediri, Lumajang, Nganjuk, Surabaya, Ponorogo, dan Yogyakarta, yang adu molek pada ajang itu.
Sambutan luar biasa juga tampak pada kontes perdana serama Camat Pondokgede Cup I yang diselenggarakan oleh Penggemar Ayam Serama Indonesia Raya (PASIR). ‘Total ada 50 peserta,” kata H Al Ghazali TE, SAg, MM, ketua umum PASIR. Kontes serama di Pendopo Kecamatan Pondokgede, Bekasi, itu hanya mempertandingkan 2 kelas serama jantan: madya (bobot di atas 400 g) dan utama (di bawah 400 g). Pada kelas madya muncul sebagai juara: Jali milik Dodon Serama. Sedangkan di kelas utama, kampiun menjadi milik Michael Jackson koleksi Ajong dari Jakarta Barat.
Serama-serama peserta kontes tingkat nasional Serama Trubus Cup di WTC Mangga Dua Jakarta, pada 16 Januari 2011 itu memang pantes menuai pujian. Selain bersosok mungil, juga pandai bergaya.
“Inilah serama-serama sesungguhnya. Punya daya tarik fisik dan perilaku luar biasa, hingga orang-orang berani mengeluarkan puluhan juta rupiah hanya untuk seekor serama,” kata Johan Nasution, ketua Asosiasi Penggemar Ayam Serama Indonesia (APASI). Ayam asal negeri jiran, Malaysia, itu diklaim sebagai yang terkecil di dunia. Tubuhnya hanya sekepalan tangan dengan tinggi sejengkal orang dewasa.
“Mungil bukan cebol. Tapi mungilnya serama proporsional antara ukuran kepala, tubuh, dan panjang kaki,” kata Rudiasfie Sjofinal, pelopor pengembang ayam serama di Indonesia. Menurut pria yang akrab dipanggil Rudi Pelung, keunikan serama terletak pada sikap sombong dan angkuhnya.
“Kecil tapi sombong, kan keterlaluan,” seloroh Rudi. Dianggap sombong karena ketika berjalan serama melangkah tegap, bagai tentara selalu membusungkan dada dan penuh percaya diri. Semakin kecil tubuh dan tinggi tingkat kesombongan, serama itu kian berkualitas.
Para penggemar ayam serama dari berbagai pelosok yang datang ke kontes di WTC Mangga Dua, Jakarta Pusat, itu sepakat kualitas kontestan tidak berbeda jauh dengan di Malaysia.”Tubuhnya kecil-kecil, kaki lentik, dan bulu kemas,” kata Agustinus Agus, hobiis dari Surabaya yang ditugaskan menjuri. Padahal, 6 bulan silam, jumlah serama berkualitas masih bisa dihitung dengan jari. Itu tercermin dari kontes-kontes yang kerap diselenggarakan di berbagai daerah seperti Bekasi, Kediri, dan Banyuwangi. Mafhum dalam 3 bulan terakhir para importir berhasil memboyong serama-serama terbaik Malaysia ke tanahair. Tak percaya? Inilah sosok mereka.
Jantan Tertua
Serama koleksi Hamdan Abdul Hamid di Sungei Dua, Butterworth, Pinang, Malaysia, itu boleh jadi serama tertua di negeri Pulau Pinang. Kini umurnya menginjak 7 tahun. Di saat isu flu burung menerpa dunia unggas dan para pemain serama beralih memelihara lou han, Hamdan bergeming merawat ayam terkecil di dunia itu.
Betina Teringan
Namanya Yuni Sara. Sang pemilik, Januar Herwanto, di Sumenep, Madura, memboyongnya dari Selangor, Malaysia. Serama yang mempunyai keistimewaan leher getar itu bobotnya hanya 180 g. Dengan bobot itu, peraih juara ke-1 kontes di Surabaya 12 Desember 2010, menjadi yang teringan di tanahair.
DOC Termahal
Harga DOC di poultry shop paling banter Rp6.000/ekor. Namun, Abdul Hakim di Jakarta Barat, mampu menjual beratus kali lipat, Rp1-juta per ekor. Ya, itulah DOC serama dengan pejantan ternama Michael Jackson. Apalagi ada embel-embel sudah divaksin. DOC bisa diambil 3 hari setelah transaksi.
(Sumber-Trubus Online. Catatan: Artikel ini di trubus-online hanya bisa diakses oleh member berbayar. Pemuatan di omkicau.com tidak melanggar aturan main selama Om Kicau mencantumkan sumbernya secara jelas. Terima kasih)