Trend kenari lomba di Jabodetabek sejak dua tahun terakhir mengarah ke produk silangan impor, seperti F1, F2 atau minimal AF. Booming kenari gede membuat pamornya terus melesat, meskipun harga jualnya juga turut melambung. Bahkan kini bukan hanya di tanah Jawa, kawasan Sumatera sejak beberapa bulan ini kabarnya lagi demam kenari impor.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Lambat laun, burung-burung kenari kecil atau kerap disebut lokal, perlahan terus tergeser. Dominasi burung gede di lapangan tampak dalam sebuah lomba-lomba yang digelar khususnya lomba nasional.

Tergilas popularitasnya namun tak menyurutkan peminat. Sadar keberadaannya jadi anak bawang, membuat jawara-jawara lokal mulai menyingkir ke even-even pinggiran maupun latberan.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Ya, hanya kenari ukuran jumbo yang banyak dijumpai di even besar. Bahkan, sepertinya, keberadaan kenari kecil sudah tidak layak dipantau. Juri cenderung lebih fokus pada burung besar. “Logikanya, volumenya pasti ketutup sama kenari besar,” kata Heru spesialis kenari dari Pasar Burung Pramuka.

Fenomena ini membuat kelas kenari nyaris terjun bebas, meskipun permintaan pasar tinggi tapi nasibnya di lomba berbalik 180 derajat. Menurut beberapa pemain kenari, dulu masih jamannya rame kenari lokal, lomba kelas ini selalu dipenuhi peserta.

Maklumlah, kenari lokal bisa terjangkau semua lapisan, bila dibandingkan dengan kenari silang impor sekelas F1 atau F2. Ini yang membuat peserta kelas kenari di even-even pesertanya jadi terbatas.
Menurut Heru, dan sisi harga juga sangat berbeda jauh. Kenari lokal yang rajin bunyi masih bisa dijangkau sekitar Rp 350.000 – Rp 500.000. “Bandingkan dengan F1, harga anakannya saja sudah di atas satu juta lebih,” ungkapnya.

Tersingkiranya kenari lokal ini yang membuat Heru, yang juga penyelenggara latberan di Halim, mensosialisasikan burung-burung kenari lokal dalam latberan rutinnya. Ya, pemilik kenari lokal bisa menurunkan gaconya di beragam lomba lokalan maupun latberan.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Sebenarnya, menurut Heru, pakem utama kan pada irama lagu. “Ya minimal ada isian waterslager, biar keliatan luwes memawakan lagu, syukur-syukur ada Spanish timbrado. Tapi jangan kayak Taiwan yang banyak lagu ngecak-nya,” tutur Heru.

Nasib kenari lokal sebenarnya belum mencapai titik nadir. Di lomba Jabodetabek masih ada pemilik burung jawara yang eksis dengan kenari ini. Sebut saja Frengky Londho misalnya, dia juga eksis dengan kenari lokal bernama Sabuk Kuning. Bahkan, beberapa kali koleksinya ini kerap menangguk gelar juara. “Justru yang F1 malah gak pernah jalan,” ungkap Frengky.

Hal yang sama juga dirasakan Lompo Bere milik Henry dari Harapan Indah Bekasi. Dalam sehari bisa turun ke tiga even sekaligus, dan hebatnya bisa juara. Sampai saat ini gaconya sudah mengkoleksi lebih dari seratus gelar juara..

Artikel terkait:

  1. Kenari kecil vs bongsor (1): Pasar lokal “dijegal”, trend disetir importir?
  2. Kenari kecil vs bongsor (2): Mengejar trend dan gengsi
  3. Kenari kecil vs bongsor (3): Klasifikasi kenari sumir dan rancu
  4. Kenari kecil vs bongsor (4): Lokal lebih rajin dan gampang tampil
  5. Kenari kecil vs bongsor (5): Juri enggan melirik kenari lokal?
  6. Kenari kecil vs bongsor (6): Para EO & kenari mania sepakat kelas dipisah

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.

-7.550085110.743895