Kasus rusuh dalam lomba burung Walikota Cup di Salatiga tidak akan terjadi kalau para pemain burung mengingat kembali apa tujuan mereka berhobi burung. Ketika mulai terjun di dunia hobi burung, sebagian besar para pemain tidak terobsesi untuk menjadi terkenal di tingkat lokal, regional atau pun nasional. Tujuan awalnya adalah menyalurkan hobi melalui lomba burung yang berharap bisa memenangkan setiap perlombaan. Ketika kemenangan bukan lagi sebuah harapan tetapi adalah tujuan, maka timbullah masalah.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Ketika kemenangan masih sebatas harapan, maka kalau seorang pemain merasa kalah, dia akan mencari gaco lagi yang lebih bagus. Begitu seterusnya sampai akhirnya menemukan gaco yang bisa bersaing atau unggul di kelasnya. Baik di skala lokalan, regional maupun tingkat nasional.

Pemain yang selalu mencoba mencari burung andal dengan dicoba di berbagai event tanpa perlu mengandalkan juri ini bisa kita sebut misalnya Agung Tattoo – Bali. Pemain yang baru turun langsung mentake-over beberapa burung mahal dan kini menjadi perhatian para pemain itu dianggap sebagai “terlalu berani”. Ratusan juta diinvestasikan untuk bermain burung. Tidak saja turun di skala lokal, dia juga terjun di ajang nasional.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Peranan EO

Selain melihat sisi pemain, kita perlu melihat sisi event organizer (EO). Kasus Salatiga tentu bisa diantisipasi sejak awal jika panitia melibatkan juri-juri yang dikenal bersih. Artinya, EO haruslah kuat. Artinya, untuk mendanai lomba, dia tidak tergantung semata pada sponsor tertentu yang kadang menitipkan juri tertentu pada gelaran itu.

Kemandirian dalam pendanaan memang sangat menentukan kualitas lomba yang digelar atau meningkatkan prestise lomba tersebut. Simak misalnya kiprah Iwan Kopi Luwak. Kicaumania Bali ini sukses dengan lomba yang dia gelar karena tidak saja berhadiah gede, tetapi juga menekankan penggunaan juri yang bisa bekerja secara fair.

“Kami ingin menunjukkan, bahwa lomba yang kami gelar benar-benar bersih dari KKN,” kata Iwan Kopi Luwak yang pernah menggelar lomba skala nasional berhadiah Rp. 10 juta paruh semester pertama 2012. Iwan saat ini juga berencana menggelar Kopi Luwak Bali Cup jilid kedua pada 2 Desember 2012 dengan hadiah yang lebih besar lagi.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Toh begitu, tidak semua pemain murni berlomba untuk menyalurkan hobi atau berkeinginan kuat membenahi keadaan. Ada juga yang memang sejak awal ingin berbisnis di sana. Orang-orang seperti inilah yang seringkali memaksakan kehendak.

Pegang teguh pakem

Namun bagi juri senior PBI Bali, Haryono, bisa dimaklumi kalau ada pemain bermain nakal atau bernada memaksakan kehendak karena memang setiap pemain ingin burungnya juara. Bahkan bos-bos gede pun ikut intervensi walaupun terkadang malu atau biasanya mengandalkan anak buahnya di lapangan.

Dengan demikian, menghadapi tekanan seperti itu sudah biasa baginya. Sekarang yang diperlukan adalah membangun mental juri yang mau tetap berpatokan pada pakem penilaian. “Juri tidak usah takut kalau sudah berpegang pada pakem yang ada,” ujar Haryono.

Banyak yang mengakui unsur bisnis begitu kuat dalam arena kontes. Akibatnya tidak saja juri harus bermental baja, tetapi juga panitia harus bersih. Panitia sepatutnya menunjukkan iktikad baik untuk selalu mengontrol juri. Bukan sebaliknya, malah ikut intervensi.

Seperti yang dilontarkan pengurus P2BS Triyanto, hal itu memang akhirnya kembali pada pribadi masing-masing. Tekanan pasti ada, tetapi bagaimana pribadi orang-orang yang terkait itulah yang menentukan kondisi di lapangan. Selama semuanya mau jujur dan memiliki berkepribadian kuat, maka hasilnya pastilah akan positif. (Artikel III dari 4 Artikel/Bersambung)

Artikel lain:

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.

-7.550085110.743895