Keletak andong terdengar keras, tetapi harmonis, tatkala melintasi jalan berbatu di desa itu. Beberapa anak berseragam putih-merah jalan berjajar dengan riang. Seorang pemuda bertelanjang dada menggenjot sepeda dengan kencang, melampaui laju andong. Karung berisi rerumputan tergolek di jok belakang, terjepit kencang oleh karet hitam bekas ban sepeda motor.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kinanti seperti kembali ke masa silam. Tetapi itu hanya berlangsung sesaat. Selebihnya. pikirannya melayang entah kemana. Batinnya terlihat tidak tenang. Ia duduk melamun di belakang kusir. Tak dihiraukan beberapa petani yang sedang menggarap sawah. Sebagian sudah dikenalnya, namun ia benar-benar kehilangan selera untuk menyapa.
Matahari untuk kesekian kalinya memenuhi sabda alam. Selalu datang untuk mengusir malam. Kabut tipis yang sebelumnya menyelimuti desa sudah sirna karena kehangatan sinarnya. Namun kabut tipis masih menyelimuti hati perempuan itu, yang terluka begitu dalam. Menganga lebar, yang ia sendiri tak tahu apakah bisa tersembuhkan.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Batal sudah rencana pernikahannya dengan Rinto, lelaki yang sepekan lalu melamarnya. Bertahun-tahun Kinanti memelihara keputusannya untuk tidak menikah. Pengalaman masa lalu yang dialami Ibu, akibat ditinggal Ayah yang kawin lagi, membuatnya pernah menjatuhkan vonis untuk dirinya sendiri: melajang selamanya.
Bagi masyarakat Maguwoharjo, desa kecil di pinggiran Jogja, memang terasa janggal jika ada perempuan berusia duapuluh lima tahun belum menikah. Usia Kinanti bahkan sudah sudah kepala tiga. Bulan depan ia genap berusia tigapuluh tiga.
Sebagai perempuan cantik, wajahnya serupa Nadia Vega, mestinya mudah bagi Kinanti untuk mendapatkan jodoh. Faktanya, sudah puluhan lelaki mencoba mendekatinya, tetapi semuanya gagal meyakinkannya. Kinanti tetap kukuh dengan sikapnya untuk melajang sampai tua.
Ia perempuan cerdas, bahkan satu-satunya sarjana di desa ini, dan memiliki pergaulan luas. Mestinya tidak sulit baginya untuk memilih lelaki yang diinginkannya. Tapi Kinanti tak berselera sama sekali.
Semula Kinanti tak menggubris semua cemooh warga, yang kerap menyebutnya sebagai perawan tua. Ia lebih asyik menekuni karirnya sebagai jurnalis di Jakarta. Sembilan tahun lalu, begitu lulus dari Peternakan UGM, ia menjadi wartawan aktif di Ecomagz, majalah lingkungan hidup terbitan Jakarta.
Empat tahun berikutnya, ia dipromosikan menjadi editor bidang konservasi satwa langka, sembari meneruskan aktivitasnya di sebuah LSM yang juga bergerak di bidang yang sama.
Desakan Ibu tak membuat Kinanti mengubah keputusannya. Ibu akhirnya bisa menerima keputusannya untuk tidak menikah. Kehadiran Rinto yang terus menyemangati hidupnya justru berhasil memecah kebekuan hatinya. Sikap Rinto yang penyabar membuat hatinya melumer, bahkan mau menerima lelaki itu sebagai kekasihnya.
Pekan lalu, Kinanti resmi menerima pinangan Rinto. Acara sederhana yang berlangsung di desa ini rencananya akan ditindaklanjuti dengan pernikahan, dua-tiga bulan lagi.
Kinanti mengusap matanya, sekadar menahan agar tangis tak tertumpah di jalanan, di atas laju andong.
Ah, mengapa hari-hari yang indah bersama Rinto hanya bertahan dua tahun saja? Kini dia harus mengubur semua impian manisnya. Batal sudah rencananya untuk menikah dengan lelaki itu. Putus sudah tali pertunangan keduanya.
Gunung Merapi terlihat begitu jelas di pagi ini. Masih seperti dulu. Kukuh dan angkuh. Angin merambat sedikit kencang. Dedaunan pohon sukun saling bergesekan, hingga menimbulkan gemerisik merdu di telinga.
Rukmini, seorang perempuan setengah baya, duduk di atas lincak depan rumahnya. Sejak tadi ia di sana. Dibiarkan warung di samping rumahnya tertutup. Entah mengapa, dia tak berminat membukanya.
Ditatapnya Merapi dengan mata berbinar. Ada perasaan aneh berdesir di dada. Dari arah kebun, terdengar ocehan burung prenjak di alam bebas. “Tamu siapa lagi ya?”
Gambong? Tak mungkin lelaki itu datang ke sini. Sejak bercerai, dia tak pernah datang lagi kemari. Bahkan Gambong tak tahu kalau di rumah ini, sepekan lalu, anaknya dilamar orang.
Jangan-jangan Kinanti sendiri yang datang. Ah, tidak mungkin. Bukankah Kinanti janji akan pulang lagi seminggu menjelang pernikahan. Dadanya yang mulai cekung makin bergemuruh. Debar jantungnya makin kencang.
Dari kejauhan, Rukmini melihat sebuah andong melintasi jembatan di atas Kali Tempur. Ia terkejut ketika andong sudah berhenti tepat di depannya. Terlihat dengan jelas siapa penumpang di belakang kusir.
“Kok pulang lagi, Nduk,” teriaknya, ketika Kinanti turun dari andong. “Biasanya kamu menelepon dulu kalau mau pulang kampung”.
Kinanti diam saja, kendati tetap menyungging senyum. Diciumnya tangan kanan Ibu, sebagaimana tradisi anak terhadap orang tua di Maguwo, juga desa-desa lain di Tanah Jawa. Sebenarnya ia sudah tidak kuasa menahan tangis. Hanya sisa-sisa kekuatan batin yang mampu mencegah linangan air matanya agar tak tumpah.
Tapi Rukmini bukan perempuan kemarin sore. Dengan mata hatinya, ia bisa melihat apa yang terjadi pada anaknya. “Ada masalah apa, Nduk?” tanya dia, sambil mengusap-usap rambut kepala anaknya.
Kinanti menggeleng. Dari sudut kelopak matanya mulai terlihat sesuatu yang bening, bak embun. Sekuat tenaga ia terus berusaha menahan tangis.
“Jangan membohongi Ibu. Katakanlah jika kamu tak keberatan”.
Kinanti kembali menggeleng. Ia malah berlari masuk ke dalam rumah, menuju kamar yang sudah lama ditinggalkannya.
Rukmini mengurungkan niat untuk menyusul anaknya. Ia membiarkan Kinanti untuk beristirahat sejenak. Perjalanan dari Jakarta tentu melelahkan, meski dalam empat tahun terakhir Kinanti selalu menggunakan pesawat karena mendapat fasilitas dari kantor.
Di dalam kamar, Kinanti tidak bisa memicingkan mata. Rasa kantuk tak bisa ditahannya, namun matanya sulit terpejam. Tersandera oleh pikirannya sendiri.
Sebenarnya dia sudah tiba di Bandara Adisucipto kemarin sore. Dari sana langsung menuju Ambarukmo Palace, menghadiri pembukaan pameran kerajinan yang diselenggarakan Promoz, event organizer milik Rinto.
Kinanti diundang bukan sebagai jurnalis, tetapi undangan pribadi dari Rinto. Sekalian menghadiri undangan, dia bisa pulang kampung, menengok Ibu yang hidup sendirian di Maguwo. Tetapi kehadirannya di gedung megah yang kerap disingkat menjadi Amplas inilah yang membuat hatinya terluka, menganga, seperti beberapa tahun sebelumnya.
Selama di arena pameran, Rinto menemaninya berkeliling dari stand yang satu ke stand lainnya. Dari ratusan item produk kerajinan yang digelar di Amplas, mata Kinanti terusik oleh cenderamata bernuansa Dayak.
“Ada yang nggak beres,” batinnya, saat berada di stand Dayak.
Matanya terbeliak melihat cenderamata berupa hiasan kepala yang kerap digunakan para pemuka adat suku Dayak, baik di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Tak sama persis, tetapi bahan yang digunakan itulah yang menggelisahkannya.
Stand Dayak memang mengundang minat para pengunjung, selain produk kerajinan dari suku Asmat. Dalam kegelisahan yang belum terucap, Kinanti menduga jika bahan baku yang digunakan adalah paruh eksotik dari burung enggang gading. Ya, burung endemik Pulau Borneo yang termasuk dalam satwa yang dilindungi.
Menurut laporan dari beberapa LSM lingkungan hidup yang masuk ke meja redaksi, aksi pembantaian burung enggang gading di alam bebas kian marak dalam satu tahun terakhir. Hasil investigasi tim yang diturunkan Ecomagz pun menunjukkan, para pembantai kerap meninggalkan bangkai enggang gading di tengah hutan yang sudah tak berkepala.
Burung bernama latin Buceros vigil ini diincar para pemburu karena mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. Menurut pengakuan seorang tersangka yang sudah ditangkap, satu paruh dihargai cukong-cukong di Jakarta paling rendah dua setengah juta rupiah. Malah beberapa kali ia bisa menjual seharga empat juta rupiah. Di pasar internasional, harganya bisa melonjak hingga sepuluh kali lipat.
Dibandingkan dengan jenis enggang atau rangkong yang lain, enggang gading memiliki paruh terindah. Ukurannya sangat besar, kuat, dengan kombinasi warna oranye dan putih gading. Warna dasar paruh ini putih gading, tetapi paruh di dekat kepala terlihat oranye-kemerahan.
Pada bagian atas paruh terdapat mahkota, mirip tanduk, berwarna merah, yang menutupi dahinya. Keberadaan mahkota membuat penampilan enggang gading makin eksotis, yang celakanya justru memancing nafsu para pemburu yang berkomplot dengan cukong-cukong.
Seperti halnya gading gajah, paruh enggang gading kerap disalahgunakan sebagai bahan pembuatan pipa rokok, produk ukiran, gelang, manik-manik, tatakan gelas, sandal, hak sepatu, dan aneka produk kerajinan unik lainnya.
Ya, semua produk itu pun sudah dilihat Kinanti dalam pameran kerajinan di Amplas. Itu sebabnya, dia memutuskan tidak langsung pulang ke Maguwoharjo yang hanya berjarak sekitar 5 km dari arah baratdaya Amplas.
Kinanti ingin menuntaskan malam itu juga, untuk menggugat Rinto. Ia sengaja memesan satu kamar di Amplas, dan mengundang Rinto datang ke kamarnya jam sebelas malam.
“Kamu senang dengan pameran ini, Anti?” Tanya Rinto, begitu masuk ke kamar.
Kinanti diam sejenak, memikirkan bagaimana cara memulai pembicaraan tanpa melukai kekasihnya. Bagaimana pun, ia sangat mencintai Rinto. Hatinya yang kosong bertahun-tahun bisa terisi kembali dengan cinta dan harapan, sejak berkenalan dengan Rinto.
“Inilah cara saya mencari uang. Bisnis event organizer sangat menjanjikan masa depan kita. Jogja paling welcome sama aktivitas seperti ini. Izinnya mudah, murah, dan tak berbelit-belit”.
Rinto masih saja nyerocos seperti anis kembang yang gacor. Kinanti makin bingung untuk memulai pembicaraan. Lelaki inilah yang telah menaklukkan hatinya yang sudah bertahun-tahun terluka. Lelaki ini pula yang sanggup membatalkan keputusannya untuk tidak menikah.
Kini, setelah peristiwa di stand Dayak beberapa saat lalu, batinnya menjadi gamang.
“Kok diam?” Pertanyaan Rinto mengejutkan lamunannya.
“Kalau kamu tak ingin aku diam, katakan terus terang dari mana Mas Rinto mendapatkan produk-produk di stand Dayak?”
“Produk yang mana? Produk di stand Dayak banyak. Ada hiasan kepala, sandal, tatakan gelas, hingga pipa rokok,” jawab Rinto.
“Ya, semuanya! Darimana semua produk itu Mas Rinto dapatkan?”
“Dari beberapa teman di Pontianak, Palangkaraya, dan Samarinda. Memangnya kenapa, kok kamu jadi judes seperti itu?”
“Mas tahu kan, aku bekerja di majalah lingkungan hidup dan terlibat aktif dalam proyek konservasi enggang gading di Kalimantan?”
“Ya, aku tahu. Karena kesibukan itulah, kita jarang bertemu. Terus, apa persoalannya?”
“Mas tahu kan, semua produk di stand Dayak dibuat dari paruh burung enggang gading. Mas juga tahu, aku berkali-kali menulis artikel tentang upaya konservasi enggang gading. Mengapa Mas tega melakukan semua ini kepadaku? Jawab Mas, jawab!!!”
Kinanti tak kuasa menahan emosinya. Ia seperti dikhianati tunangannya sendiri, calon suaminya kelak.
“Siapa bilang itu dari paruh enggang gading? Itu semua imitasi. Campuran dari kayu Kalimantan yang dicampur bahan fiber. Jangan asal menuduh Anti! Apalagi aku ini calon suamimu, calon ayah dari anak-anakmu nanti”.
Batin Kinanti makin terluka, terutama karena kebohongan Rinto yang selama ini tidak pernah dilakukan terhadapnya. Kinanti tahu persis ciri-ciri paruh gading enggang, jadi tak mungkin produk itu terbuat dari bahan imitasi.
“Mas terlalu menyepelekan pengetahuanku tentang enggang gading. Mas juga begitu tega membohongiku, perempuan yang kamu anggap sebagai calon istrimu, calon ibu dari anak-anakmu”.
“Kenapa sih masalah sepele ini harus dibesar-besarkan?”
“Sepele katamu, heh? Ini masalah prinsip dan pilihan hidup, Mas. Sejak masih kuliah, aku sudah terlibat dalam kegiatan konservasi satwa langka. Aku rela menolak jadi dosen, justru menerima tawaran menjadi jurnalis di Ecomagz, agar selalu bisa berkomunikasi dengan rekan-rekan aktivis konservasi. Ketika Mas melamarku, aku juga meminta syarat bahwa Mas harus mendukung aktivitas pekerjaanku. Mohon jangan sepelekan masalah ini”.
“Lha, kamu juga berjanji mendukung aktivitas pekerjaanku, bukan?”
“Iya, tetapi kalau aktivitas itu keliru, ilegal, aku tetap harus menolak! Ini demi kebaikan kita dan keluarga kita kelak, Mas”.
“Kebaikan macam apa sih yang kamu bicarakan? Kok kamu lebih menyayangi enggang gading ketimbang aku,” Rinto coba bercanda, sambil menggelitik perut samping Kinanti.
“Ih, tidak lucu! Bukan karena aku lebih menyayangi enggang gading, tetapi karena aku peduli terhadap kelestarian enggang gading. Kalau aku bicara enggang gading, itu bukan enggang gading semata, tapi semua satwa di Indonesia yang terancam punah dan masuk daftar satwa yang mesti dilindungi”.
“Ah, sudahlah! Sekarang apa maumu?”
Astaga! Lelaki itu menantangnya. Mestinya, Kinanti yang lebih dulu bertanya seperti itu. Uh, sial, keduluan!
“Mauku, mulai besok singkirkan semua produk di stand Dayak. Itu sangat melukai hati masyarakat Dayak yang begitu menghormati eksistensi enggang gading”.
“Gila! Kamu benar-benar gila!”
“Gila? Mas menuduhku gila, hanya karena aku mengingatkan kekeliruan Mas?
“Keliru? Aku keliru apa? Sudah kubilang semua produk itu terbuat dari kayu kalimantan yang dicampur bahan fiber. Keliru apa aku ini?”
“Mas bukan hanya keliru, tetapi juga berbohong. Sekarang kasih aku alamat teman-temanmu di Pontianak, Samarinda, dan Palangkaraya yang memasok produk-produk itu”.
Rinto diam saja. Ia merasa telah ditelanjangi tunangannya sendiri.
“Aku minta alamat teman-temanmu dari Kalimantan!”
Rinto masih saja terdiam. Lidahnya kelu, kaku, seperti terpaku. Wajahnya pun terlihat pias, pucat seperti kapas.
“Mas tidak berani memberikan alamat mereka kan? Itu berarti Mas Rinto kongkalikong dengan mereka. Aku tidak ingin anak-anak kita kelak makan dari hasil kegiatan ilegal. Aku tak ingin anak-anak kehilangan ayahnya akibat dipenjara. Aku tak mau anak-anakku kehilangan ayah, sebagaimana aku dan Ibu ditinggal Ayah pergi entah kemana”.
Setelah lama terdiam, dan kembali tak bersuara, akhirnya Kinanti mengambil keputusan yang mengejutkan.
“Kalau begitu, lupakan anak-anak kita. Tidak akan pernah ada anak-anak dari hasil perkawinan kita, karena perkawinan itu sendiri tak akan pernah ada!”
“Anti!!!
Rinto berusaha mengejar Kinanti yang berlari ke toilet. Tetapi pintu toilet sudah tertutup dan terkunci, seperti menutup dan mengunci hati Kinanti dari kehadiran lelaki itu. (Dudung Abdul Muslim – Bagian I dari VII Episode)
Link Terkait
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 1)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 2)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 3)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 4)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 5)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 6)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 7/Tamat)
Salam dari Om Kicau.