Ponsel tiada henti-henti berdering. Email penuh dengan pesan baru. Semua itu gara-gara enggang gading, tetapi Kinanti merespon seluruh komentar pembaca dengan senang hati.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kemarin, Kinanti menurunkan tulisannya tentang enggang gading di salah satu media sosial terkemuka. Ia hanya menyinggung sekilas mengenai sindikat perdagangan paruh enggang gading, dan lebih fokus pada keberadaan enggang gading dalam masyarakat suku Dayak.
Kinanti menulis bukan untuk menyadarkan sindikat perdagangan paruh enggang gading. Percuma menyadarkan mereka, ketika uang di mata mereka adalah segalanya. Ia ingin membangun pemahaman kepada para pembaca yang belum tahu banyak soal enggang gading, sehingga suatu saat nanti bisa melakukan perlawanan kolektif terhadap sindikat pembantaian dan perdagangan paruh burung eksotik tersebut.
Sebagian besar bahan tulisan berasal dari perjalanan jurnalistiknya ke Taman Nasional Betung Karihan, Kapuas Hulu, ditambah referensi lain termasuk dari blog dan website rekan-rekan aktivis peduli lingkungan hidup.
Masih terlintas jelas bagaimana wawancaranya dengan Hayyin, pemuka adat Dayak di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, usai berkunjung di Kapuas Hulu.
“Nenek moyang masyarakat Dayak begitu menghormati burung enggang. Nilai-nilai itu masih berlaku hingga sekarang,” tutur Hayyin saat itu.
Ujud nyata penghormatan ini terlihat dari penggunaan gambar enggang pada logo Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Universitas Lambung Mangkurat, dan beberapa organisasi / komunitas lainnya.
“Bapak tahu, apa alasan utama nenek moyang zaman dulu sehingga menghormati burung enggang?” Tanya Kinanti.
Hayyin tak segera menjawab. Ia menundukkan muka. Entah mengenang, entah mencari jawaban. Tetapi itu hanya sekian detik saja. Lelaki kharismatik itu lalu mengangkat muka dan menatap Kintanti.
“Salah satu sebabnya karena sosok burung itu yang sangat besar dibandingkan dengan jenis burung lain yang ada di hutan,” ujarnya kemudian.
“Cuma itu?”
“Suara dan kepak sayapnya saat terbang juga berwibawa”.
“Pasti masih ada lagi,” Kinanti terus mencecarnya.
“Keindahan bulu dan paruhnya. Tetapi faktor inilah yang justru menggoda orang-orang tertentu untuk memperdagangkan paruh enggang”.
Kinanti mengangguk-anggukkan kepala. “Saya dengar, enggang dikenal sebagai burung yang sangat setia. Benarkah itu?”
“Oh, benar sekali. Faktor ini juga menginspirasi leluhur kami untuk memuliakan burung enggang. Banyak sekali memang faktornya, yang semuanya bermuara pada kesepakatan sosial untuk tidak membunuh burung enggang dan memakan dagingnya,” tutur Hayyin.
Yang membuat Kinanti makin terkesima adalah ketika Hayyin bercerita tentang mitos Panglima Burung yang diyakini masyarakat Dayak. Meski nalarnya tak menerima apapun yang bernama mitos, dia harus menghormatinya sebagai cara masyarakat tempo dulu dalam membangun spirit komunitasnya.
Ya, dalam budaya suku Dayak, Panglima Burung dianggap sebagai penjelmaan burung enggang. Sosok ini tinggal di gunung pedalaman Kalimantan, berujud gaib, dan hanya hadir pada saat perang saja. Itu sebabnya, enggang dianggap sakral dan tidak boleh diburu apalagi dimakan. Bukankah itu sebuah kearifan lokal yang diturunkan nenek-moyang agar tak terjadi perburuan burung di alam bebas?
Kinanti juga mengagumi kesetiaan masyarakat Dayak dalam menaati pesan leluhurnya, agar jangan sekali-sekali membiarkan jasad burung enggang yang mati di hutan. Begitu menemukan jasadnya, masyarakat wajib memperlakukannya dengan baik. Rangka bagian kepala diawetkan dan diserahkan kepada pemuka adat. Hiasan kepala dari rangka kepala burung enggang ini pun hanya boleh digunakan oleh orang-orang terhormat.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Memang banyak versi mengenai Panglima Burung. Sosok ini konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, terutama perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, selama ratusan tahun. Sebagian warga menyebutnya sebagai pemimpin spiritual, guru, hingga tetua yang diagungkan. Orang Dayak pedalaman menyebut Panglima Burung sebagai Pangkalima, atau panglima perang Dayak.
Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga dikenal sebagai sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto.
Fakta ini membuyarkan semua stereotipe suku Dayak yang kejam, ganas, dan beringas. Stereotipe tersebut sempat dimunculkan saat terjadi insiden kemanusiaan di Sampit dan Sambas, di penghujung era Orde Baru.
Penglima Burung juga digambarkan sebagai sosok yang sabar. Warga Dayak pun begitu. Mereka kerapkali mengalah ketika para penebang kayu dan penambang emas dari luar Kalimantan memasuki wilayahnya.
Meski kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah muncul konflik ketika ada anggota masyarakat Dayak beralih ke agama-agama yang dibawa pendatang. Semua ini dengan jelas menggambarkan betapa orang Dayak sebenarnya sangat tenang dan penyabar.
Bukan hanya itu, Panglima Burung juga dilukiskan sebagai figur yang sederhana. Meski dianggap tetua yang diagungkan, ia tidak mau tinggal di istana atau bangunan mewah. Panglima Burung memilih bertapa di gunung, menyatu dengan alam.
Lihatlah masyarakat Dayak pedalaman. Mereka pun tak pernah peduli dengan nilai uang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka cukup melakukan barter barang dengan kaum pendatang, mulai dari kopi, garam, hingga rokok.
Kesederhanaan Panglima Burung juga dibarengi dengan tabiatnya yang tidak suka unjuk kekuatan, bahkan jarang menampakkan diri. Begitu pun orang Dayak, yang tidak mau sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata itu hanya digunakan untuk berburu di hutan. Mandau lebih sering berada dalam kumpang (sarung) jika tak ada hal penting atau mendesak.
Nampaknya ada tali-temali atau sambung-sinambung antara sosok Panglima Burung dan perilaku masyarakat Dayak saat ini.
Tentu tidak ada yang sempurna di dunia ini. Demikian pula dengan Panglima Burung. Â Suatu ketika, Panglima Burung terpaksa turun gunung setelah terus-menerus bersabar dan mengalah. Ketika kesabarannya sudah habis, dia siap melawan siapapun hingga terlihat seperti sosok yang sangat murka.
Saat turun gunung, Panglima Burung mengumpulkan pasukannya. Ritual inilah yang di Kalimantan Barat dikenal sebagai Mangkuk Merah. Sebuah tarian untuk mengumpulkan para prajurit Dayak dari seluruh wilayah di Kalimantan. Mandau pun melekat erat di pinggang.
Warga Dayak juga manusia. Mereka itu sejatinya ramah, pemalu, penyabar, dan tenang. Tetapi ketika musuh terus mengganggu, dan kesabaran sudah habis, mempertahankan diri menjadi harga mati. Jadi, kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis, saat jalan damai tak bisa lagi ditempuh.
Sayangnya, derap pembangunan yang lebih mengedepankan fisik ketimbang nonfisik di masa Orde Baru cenderung mengabaikan komunitas suku Dayak maupun ekosistem yang ada di dalamnya.
Dengan dalih pembangunan sektor pertanian, pemerintah mengkapling areal hutan yang menjadi habitat burung enggang menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, terutama melalui komersialisasi hak guna usaha ke kalangan pengusaha, termasuk pengusaha dari luar negeri.
Dengan dalih pembangunan sektor kehutanan, ribuan batang kayu ditebang dan hasilnya dibawa ke mancanegara, baik dalam bentuk kayu olahan maupun gelondongan.
Untuk memaju roda pembangunan, pemerintah menggulirkan program transmigrasi tanpa memberikan pemahaman memadai mengenai keberadaan suku Dayak. Pembabatan hutan untuk permukiman transmigrasi terjadi di mana-mana.
Akibatnya, ratusan ribu hektare hutan musnah setiap tahun. Burung enggang pun makin terpinggirkan. Selain karena kehilangan tempat tinggal sehingga sulit mencari makanan, burung kharismatik ini juga sering dibantai orang-orang tak bertanggung jawab.
Nasib masyarakat suku Dayak serupa burung enggang. Terpinggirkan di tanah leluhurnya sendiri. Kini enggang hanya menjadi simbol. Anak-anak dan kawula muda di Kalimantan sudah jarang melihat enggang secara langsung, karena populasinya di alam bebas terus menyusut. Mereka hanya bisa melihat gambar enggang, atau sebagian paruh dan bulu-bulunya yang tersimpan rapi di komunitas adat suku Dayak.
Materi percakapan dengan Hayyin inilah yang diolah Kinanti menjadi features menarik dan dikomentari secara positif oleh para pembaca. Sebagian pembaca yang menjadi koleganya berkomentar via sms atau menelepon secara langsung. Adapun pembaca yang hanya mengenal tulisan-tulisannya berkomentar melalui boks komentar yang ada di bawah artikel. Ada juga yang berkomentar via email, karena setiap penulis di media sosial itu diwajibkan mencantumkan alamat email.
Tak seorang pembaca pun yang memberikan komentar negatif, kecuali lelaki bernama Anggito. Beberapa jam lalu, Anggito mengirim email kepada Kinanti bernada ancaman.
“Kamu tahu apa soal enggang gading? Tulisanmu mengancam nafkahku! Jangan salahkan aku jika kelak aku membalasmu!!!”
Anggito tidak tahu kalau penulis dan orang yang dikiriminya surat elektronik sebenarnya adalah cewek bernama Dinda yang telah dikenalnya. Ia tidak mengenal Kinanti. Sama seperti ketidaktahuannya bahwa Kinanti melakukan penyamaran terhadapnya dengan mengaku bernama Dinda.
Tetapi, dari mana Kinanti tahu kalau pengirim email itu Anggito? Inilah kecerebohan lelaki itu. Saat menerima kartu nama Anggito di Amplas, Kinanti mencermati ada alamat email yang ditulis dengan tangan. Tertulis pamulangbirdfarm@gmail.com yang menindas lapisan tipp-ex cair yang mengering.
Karena menghadapi lelaki yang diduga terlibat sindikasi perdagangan paruh enggang gading, wajar jika Kinanti mengedepankan prasangka buruk kepadanya. Ia menghapus alamat email yang ditulis dengan tangan, dengan cara menggosok-gosoknya dengan uang logam.
Dengan hati-hati, dan membutuhkan waktu sekitar lima menit, akhirnya tulisan yang sempat dihapus bisa terbaca lagi. Meski agak buram, Kinanti masih bisa membacanya: anggito_hernowo@gmail.com. Ya, persis seperti alamat email yang memaki-makinya dalam surat elektronik.
Sudah tidak ada keraguan lagi bagi Kinanti mengenai jatidiri Anggito yang sebenarnya. Karena itu pula, ia langsung melaporkan masalah ini ke kepolisian, sambil melampirkan sejumlah bukti terkait, termasuk foto-foto produk di stand Dayak tempo hari. Tidak lupa Kinanti meminta polisi untuk menyembunyikan identitasnya selaku pelapor, meski ia tetap menyertakan salinan KTP dan kartu pers. (Dudung Abdul Muslim – Bagian VI dari VII Episode)
Link Terkait
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 1)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 2)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 3)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 4)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 5)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 6)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 7/Tamat)
Salam dari Om Kicau.
Penting:Â Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.