Pagi ini terasa indah sekali. Puncak Merapi memang sedikit tertutup awan, namun tak mengurangi keindahan alam Maguwoharjo. Beberapa petak sawah di depan rumah dalam waktu dekat mengalami panen.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Di lincak depan rumah, Kinanti ingin bernostalgia dengan masa lalu. Desa ini sebentar lagi akan kehilangan sawah. Sudah ratusan hektare sawah berubah wajah jadi kampus, tempat kos, warung makan, warnet, toko kelontong, bahkan perumahan mewah.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Dulu, ketika Kinanti masih kuliah, sejauh mata memandang yang terlihat hanya sawah dan rumah-rumah sederhana. Kini semua sawah sudah berpindah kepemilikan, bahkan berubah fungsi. Hanya beberapa petak sawah depan rumah yang tak berubah. Semuanya masih dipertahankan Ibu dan empat saudaranya.
“Keputusanmu sudah bulat, Nduk? Batal menikah dengan Rinto?”
Pertanyaan Rukmini membuyarkan lamunan Kinanti.
“Ya! Kecuali jika Mas Rinto mau mendengar semua kritikku, menyadari kesalahannya, dan mengeluarkan produk-produk di Stand Dayak yang melukai masyarakat Dayak serta mengancam kelestarian satwa langka. Tapi Anti ragu, apakah Mas Rinto mau menyadari kesalahannya”.
“Hush! Jangan su’udzon dulu. Maling kelas kakap pun terkadang bisa insyaf tanpa sebab yang jelas,” Rukmini mengingatkan anaknya.
“Jika Rinto tidak seperti harapanmu, apakah kamu akan mencari lelaki lain? Maksud Ibu, kamu tak akan membuat keputusan seperti dulu. Kamu tetap ingin menikah kan?”
“Entahlah! Anti mengikuti saja ke mana air mengalir, ke mana udara berembus,” jawab Kinanti berfilsafat, meski dalam hati dia mulai malas memikirkan lelaki dan lembaga perkawinan.
Rukmini memeluk anaknya dengan erat. “Ya sudah! Sekarang sarapaan dulu. Ibu tak mau melihatmu sakit. Habis makan kita ke Kali Tempur”.
Kinanti memandang ibunya dengan kening berkerut.
“Ke Kali Tempur? Apa Ibu mau mandi di sana, sebagaimana aku melakukannya di waktu kecil?”
Belum sempat menjawab, Rukmini malah tertawa keras. Ia terpingkal-pingkal hingga bahunya berguncang. Kinanti makin heran.
“Selama kamu di Jakarta, Ibu sering ke sana, terutama kalau sudah tak kuat menanggung beban”.
“Iya, tapi untuk apa?”
“Cuma mancing!”
“Ha???”
Kinanti akhirnya tertawa juga mendengarnya. Memancing di Kali Tempur mungkin salah satu cara untuk membuang rasa sebal, melupakan kenangan pahit yang terus membayangi Ibu. Suatu saat nanti, pikir Kinanti, dia juga akan menyempatkan pergi ke sana. Bukan ikan yang dicari, tetapi kedamaian hati.
*****
Kinanti kembali duduk di lincak depan rumah. Menghadap Merapi yang puncaknya tak meruncing lagi. Angin segar menyentuh lembut kulit tubuhnya, juga lembaran koran pagi yang sedang dibacanya.
Perempuan itu ingin melihat seperti apa liputan koran pagi ini mengenai pameran di Amplas. Ternyata sekadar berita seremoni: dangkal! Kinanti bisa memahami, wartawan yang meliput bukanlah spesialis di bidang konservasi lingkungan. Mereka jelas tidak tahu bahan apa yang digunakan dalam pembuatan produk-produk di stand Dayak.
Kinanti seperti berjalan di persimpangan jalan. Bingung mau belok ke kiri, kanan, atau lurus ke depan. Mestikah dia menulis di Ecomagz apa adanya, yang berarti berpotensi membawa Rinto ke penjara?
Ia harus menulis, tetapi mungkinkah tidak menyebut pameran di Amplas? Kalau dia menyebutkan pameran di Amplas, pasti wartawan dari media lain akan mencari EO yang menyelenggarakan acara itu, dan Rinto bakal menjadi sasaran media.
Ah, seperti menyantap buah simalakama. Kalau ditulis, Rinto pasti terseret. Tidak ditulis, suatu saat Indonesia akan kehilangan enggang gading untuk selama-lamanya. Enggang gading hanya akan menjadi cerita semata, yang hanya bisa dituturkan orangtua kepada anaknya, atau dibaca dan dilihat gambarnya dari buku dan majalah.
Mungkinkah Rinto benar-benar tak tahu tentang enggang gading? Nalurinya yang sudah bertahun-tahun terasah di dunia jurnalistik memaksanya menggeleng. Rinto pasti tahu. Kalau dia tidak tahu, setidaknya mau mendengar semua kritiknya. Poin terpenting, kalau dia benar-benar tidak tahu, mestinya dia mau memberikan alamat teman-temannya di Kalimantan yang konon menjadi pemasok produk di stand Dayak.
Jadi? Rinto pasti terlibat! Itu kesimpulan sementara.
Terdengar suara enggang gading di ponselnya. Ya, itulah nada panggil yang disetel untuk telepon selulernya.
“Pagi, Bos! Siap. Semalam sudah ke Amplas. Oke, nanti siang pemotretan dan investigasi lebih dalam. Teman-teman LSM di Kalimantan siap mengumpulkan bahan tambahan? Wah, bagus. Lusa saya kembali ke Jakarta. Oke, terima kasih!”
Telepon dari Pak Ridwan, pemimpin redaksi Ecomagz, yang mendengar informasi dari koleganya tentang ekspose produk kerajinan berbahan paruh enggang gading di Amplas. Kinanti diminta melakukan investigasi dalam dua hari ini. Itu berarti ia sudah tidak lagi di persimpangan jalan. Instruksi pemimpin redaksi adalah sinyal bahwa ia harus meneruskan langkahnya ke depan.
Kinanti mau tak mau berhadapan dengan lelaki yang pernah disayanginya, bahkan pernah jadi tunangannya. Lelaki yang mampu melunturkan keputusannya untuk tidak menikah selamanya. (Dudung Abdul Muslim – Bagian III dari VII Episode)
Link Terkait
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 1)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 2)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 3)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 4)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 5)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 6)
- Cerita Bersambung: Karena Aku Peduli Enggang Gading (Bagian 7/Tamat)
Salam dari Om Kicau.
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.