Pada tahun 2005, anis merah Valium mencetak hattrick dengan memenangi tiga kelas sekaligus dalam sebuah even nasional. Tawaran untuk take-over pun langsung berdatangan, dengan tawaran tertinggi saat itu Rp 250 juta. “Namun sang pemilik menolak untuk menjualnya,” kata Dr Paul Jepson, dalam artikelnya yang dimuat di BirdAsia Vol 9 (2008), halaman 58-60. Artikel ini sangat menarik dan bercerita banyak mengenai fenomena anis merah (Zoothera citrina) di Indonesia pada waktu itu.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
“Dia tidak butuh uang. Apa yang diraihnya menjadi kebanggaan dan prestise tersendiri, karena dia sudah merawatnya selama lima tahun, sejak masih anakan dan diperolehnya dari tangkapan hutan. This is the world of kicau-mania,” ungkap Jepson, yang seperti ingin mempopulerkan sebutan kicaumania ke mancanegara.
Fenomena kicaumania (dalam arti penggemar burung berkicau di Indonesia—Red), menurut Jepson yang pernah dikupas di sini, sungguh menarik untuk diikuti. Masyarakat Indonesia mempunyai cara tersendiri dalam menikmati burung kicauan, dengan lebih memperhatikan estetika lagu yang disuarakan burung, bentuk atau postur tubuhnya, dan menurunkannya dalam lomba burung untuk dinilai juri.
Saat Jepson menulis artikel tersebut, anis merah merupakan burung terpopular di Indonesia. Berikut ini daftar 11 burung terpopular di Indonesia pada tahun 2008:
No | Nama burung | Nama internasional | Nama spesies |
1. | Anis merah | Orange-headed thrush | Zoothera citrina |
2. | Cendet | Longtailed shrike | Lanius schach |
3. | Murai batu | White-rumped shama | Copsychus malabaricus |
4. | Kacer | Oriental magpie robin | Copsychus saularis |
5. | Anis kembang | Chestnut-capped thrush | Zoothere interpres |
6. | Cucakrowo | Straw-headed bulbul | Pycnonotus zeylanicus |
7. | Kenari | Canary | Serinus canarius |
8. | Lovebird | Lovebird | Agapornis spp |
9. | Cucak hijau | Greater green leafbird | Chloropsis sonnerati |
10. | Cucak rante | Blue-winged leafbird | Chloropsis cochinchinensis |
11. | Tledekan gunung | Hill blue flycatcher | Cyornis banyumas |
—
Pemeringkatan burung terpopular versi Jepson (2008) ini berbeda dari hasil survai Burung Indonesia https://omkicau.com/2013/01/03/enam-alasan-orang-memelihara-burung/ (2006), di mana hasilnya bisa Anda lihat pada tabel di bawah ini :
No | Nama burung | Nama internasional | Nama spesies |
1. | Kenari | Canary | Serinus canarius |
2. | Cendet | Longtailed shrike | Lanius schach |
3. | Anis merah | Orange-headed thrush | Zoothera citrina |
4. | Trucukan | Sooty-headed bulbul | Pycnonotus aurigaster |
5. | Cucakrowo | Straw-headed bulbul | Pycnonotus zeylanicus |
6. | Murai batu | White-rumped shama | Copsychus malabaricus |
7. | Kacer | Oriental magpie robin | Copsychus saularis |
8. | Lovebird | Lovebird | Agapornis spp |
9. | Cica daun | Leafbird | Chloropsis spp |
10. | Parkit | budgerigars/parakeet | Melopsittacus undulatus |
Note: Cica daun mencakup cucak hijau dan cucak rante.
—
Melihat kedua tabel di atas, terlihat bahwa popularitas anis merah meningkat dua undakan hanya dalam waktu dua tahun, sekaligus menggeser posisi kenari yang semula menjadi burung terpopular di tahun 2006. Pada saat bersamaan, sebenarnya murai batu sudah mengalami peningkatan drastis, dari urutan keenam menjadi ketiga (sekarang malah sudah di urutan pertama).
Jepson memberikan catatan kritis, bahwa kenari, lovebird, cucakrowo, dan anis kembang umumnya merupakan burung hasil penangkaran. Selebihnya, termasuk anis merah, masih mengandalkan hasil tangkapan hutan (belakangan, setelah artikel ini dimuat, mulailah muncul penangkaran anis merah di Bandung dan Bali).
Anis merah dulu dilombakan di kelas campuran, dan sejak 1994 dipisahkan menjadi kelas tersendiri sampai sekarang. Sebagai burung lomba, kata Jepson, anis merah memang punya semuanya. “Postur tubuh sangat proporsional, warna bulunya juga cantik, dan terutama kicauannya. Lagunya bervariasi, volume kencang, dan gaya telernya yang membuat siapapun yang melihat bakal terpesona,” tambah Jepson dalam artikel tersebut.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Namun, ketika mulai dilombakan dalam kelas tersendiri, tim juri ketika itu hanya menilai kicauannya saja. Gaya teler anis merah sama sekali tidak masuk dalam penilaian. Baru dua tahun kemudian, gaya teler ini mulai dimasukkan dalam penilaian, bahkan kini gaya teler menjadi salah satu kriteria utama dalam penilaian lomba di kelas anis merah.
Menurut Achun, pemilik anis merah legendaris bernama Owen, volume lagu, isian lagu, serta kinerja burung menjadi kriteria utama yang harus diperlihatkan anis merah saat berlomba. Namun, tim juri selalu mencari inovasi. Jika melihat ada postur baru, mereka biasanya tertarik sehingga mendekati burung saat beraksi, kemudian mendengarkan suaranya lebih seksama.
Dalam setiap sesi yang diisi 30-40 ekor burung (sekarang bisa mencapai 60-70 ekor), enam orang juri akan berkeliling memantau gaya dan suara anis merah yang berlomba. Mereka terus mendengarkan kicauan burung dengan mempertimbangkan aspek volume, variasi lagu, dan cara melagukannya, lalu melihat gaya teler dan aksi lainnya di atas tangkringan.
Dari situlah setiap juri akan menancapkan bendera nominasi untuk memperkecil jumlah burung yang harus dinilai, sehingga bisa lebih fokus. Setelah 20-30 menit, setiap juri akan menancapkan bendera A, B, dan C kepada tiga burung yang dianggapnya terbaik, dengan poin masing-masing 100, 50, dan 25.
Burung yang mengumpulkan skor terbanyak dinyatakan sebagai juara. Juara pertama ketika itu bisa membawa pulang hadiah uang sekitar Rp 5 juta – Rp 40 juta, tergantung dari status kelas dan lomba.
Jepson mengkritisi pula ulah para pemilik dan/atau joki yang sering berteriak-teriak meminta tim juri agar memantau burungnya yang sebenarnya sudah tampil maksimal. Sebagian ulah bersumber dari ketidakpuasan mereka terhadap juri yang seringkali tidak serius memantau burung miliknya. Namun, sebagian lagi, karena para pemilik / joki asal teriak ketika juri sedang memberikan penilaian secara fair.
Apa yang dikritisi Jepson sebenarnya juga terjadi pada kelas-kelas lainnya, dan inilah awal munculnya budaya teriak, yang kini sedang “dilawan” sejumlah event organizer (EO) dengan mengkampanyekan budaya non-teriak, baik melalui brosur dan spanduk lomba, serta diumumkan langsung menjelang lomba dimulai.
Mengingat kelas anis merah saat itu begitu prestisius, ketidakpuasan pemilik / joki seringkali kelewat batas, sehingga mereka mencaci-maki juri dengan kata-kata kotor. Bahkan tak sedikit yang memaksa masuk ke lapangan, termasuk harus menjebol pagar pembatas.
Panitia lomba pun akhirnya kewalahan mengatasi teror pemilik, joki, maupun penonton lainnya. Hal inilah yang membuat EO terpaksa menurunkan petugas keamanan baik dari polisi maupun tentara, untuk mengantisipasi aksi vandalistis peserta dan penonton yang menjebol pagar.
Berdasarkan perkiraan Paul Jepson, saat itu terdapat 5.000 – 7.000 pemain yang setiap pekan rutin mengikuti lomba ke kota / provinsi lain di Jawa. Jika even lokal dan latber, jumlahnya bisa mencapai 55.000 – 75.000 orang per minggu. Ini belum termasuk gelaran di luar Jawa yang belakangan makin marak, tak kalah dari even di Jawa.
Pemain yang burungnya juara pasti sangat bangga, karena namanya akan ditulis di koran dan tabloid lokal maupun nasional. Sebagian di antaranya kemudian dikenal sebagai pemain legendaris, karena memiliki anis merah legendaris pula.
Sepanjang tahun 1999 – 2000, ada tiga anis merah yang selalu mendominasi lomba, yaitu:
- Wallet, yang saat bernyayi selalu menggoyangkan ekornya
- Dahsyat, yang kalau bernyanyi selalu ngentrok.
- Zamorano, yang goyangannya seperti berada dalam ruang yang dilanda gempa bumi.
Zamorano milik Kiking (Bandung) pernah menolak tawaran take-over sebesar Rp 250 juta !!! Burung inilah yang menjadi salah satu anis merah legendaris di Indonesia.
Pada tahun 2001 – 2002, muncul jawara baru anis merah bernama Owen milik Achun. Nama Owen terinspirasi oleh pemain muda Liverpool saat itu, Michael Owen, yang kemudian menjadi pemain termuda di timnas Inggris (sebelum rekornya dipecahkan Wayne Rooney).
Owen memiliki vokal, power, dan stamina luar biasa. Dialah satu-satunya anis merah yang pernah mencetak pentatrick, atau menjuarai lima kelas dalam satu even. Saat itu, kelas anis merah memang ramai seperti murai batu zaman sekarang. EO sering membuka 3-5 kelas anis merah, dan semuanya nyaris full gantangan.
Setelah era Zamorano dan Owen, kicaumania Indonesia juga mencatat anis merah legendaris lainnya yaitu Vallium (2005). Dua tahun kemudian (2007), muncul jawara baru bernama Juventus (terakhir dimiliki Mr H Bagya SH, kini ketua umum PBI Pusat), yang berjaya selama tiga tahun.
Di akhir keperkasaan Juventus, muncul pula anis merah Badai milik H Sadat Jakarta. Badai beberapa kali bertemu dengan Juventus dengan kemenangan silih-berganti, sampai akhirnya Juventus pensiun dan dimasukkan Mr Bagya ke kandang penangkaran.
Hingga kini, sepeninggal Juventus dan Badai, belum ditemukan lagi anis merah legendaries. Pasalnya, persaingan makin ketat, frekuensi lomba pun makin padat, sehingga burung-burung jawara terbaik di tingkat regional tidak selalu bisa bertemu di tingkat nasional.
Beberapa anis merah jawara saat ini antara lain Ceper (milik Om Victor – Jakarta), Klimax (Budi Bogem – Nganjuk), Raja Angin (H Budianto – Malang), Teroris (Bayu Cahaya – Bumiayu), Samudera (WS Suprojo – Semarang), Matador (Nanang PLN Jakarta), Euro (Ming Basket – Surabaya), dan sebagainya. Tetapi mereka jarang bertemu dalam satu even.
Populasi anis merah menurun drastis
Ketika anis merah sedang di puncak tren (setidaknya hingga 2010), permintaan terhadap anis merah terus meningkat. Ini sudah terjadi sejak akhir dekade 1990-an. Pengurasan plasma nutfah Indonesia yang tak henti-henti inilah yang diyakini Jepson sebagau salah satu sebab menurunnya populasi di alam bebas di Jawa, mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Agen burung pun mencari pasokan ke Bali, yang akhirnya juga menghabiskan populasi anis merah di Pulau Dewata.
Di Bali, sebenarnya ada sejumlah desa yang menerapkan hukum adat bagi siapapun yang ketahuan menangkap anis merah di alam liar. Tetapi rupanya hal ini tak mempan. Buktinya, para petani tetap saja bisa diperalat agen-agen burung, untuk menangkap anakan anis merah yang sedang diasuh induknya. (ikuti pula kisah tragis anis merah di Buleleng, Bali).
Praktik penangkapan anakan anis merah biasa dilakukan pada musim berkembang biak, November – Mei. Setiap musim, diperkirakan 20.000 anakan anis merah dari 5.700 lokasi di Bali dibawa ke Jawa. Agen kemudian memilih piyikan jantan, dengan usia 17-18 hari, dan menjualnya ke Jawa Timur.
Sebagian anakan dikelompokkan berdasarkan prospeknya setelah dewasa. Piyikan dengan prospek terbaik diberi ring, dijual dengan harga paling mahal. Setelah dua kali masa mabung (umur 9 dan 14 bulan), burung prospek yang dilatih dengan baik biasanya akan moncer di arena lomba.
Pemain anis merah yang haus gelar sangat keranjingan dengan produk piyikan premium seperti ini, meski harganya saat itu mencapai Rp 1,9 juta hingga Rp 4,5 juta !!!
Mereka senang melatih AM sejak piyikan, karena bisa memasukkan berbagai isian lagu sebagai bekal saat dewasa nanti. Pemain yang banyak duit biasanya merekrut perawat / joki khusus, agar rawatan bisa maksimal.
Pemilik dan joki kemudian membuat perencanaan terhadap gaconya. Jika kelak bisa masuk posisi tiga besar dalam kontes di beberapa kota berbeda, harga pun langsung melonjak menjadi Rp 40 juta – Rp 60.000.
Kini, anis merah mulai menyusut pamornya, dan posisinya sebagai burung terpopular sudah digeser murai batu. Akankah murai batu juga mengalami nasib yang sama? Bahkan ketika sejumlah pemkab di Aceh membuat peraturan / qanun mengenai penangkapan dan perdagangan murai batu, masih saja banyak orang yang melanggarnya. Bukankah di Indonesia sudah banyak penangkar murai batu? Mengapa tak membeli burung hasil penangkaran saja?
dan menjadi renungan kita bersama.
—