Ada beberapa opsi untuk membeli cucak hijau yang sebenarnya juga berlaku untuk jenis burung lainnya, antara lain membeli bakalan berpotensi, atau langsung membeli gaco berprestasi. Semua terserah selera masing-masing. Tetapi untuk sebuah hobi dan seni, idealnya membeli sejak bakalan, atau setidaknya burung prospek di even latberan. Apalagi karakter cucak hijau sulit ditebak, dan banyak pemula yang sukses mengorbitkan cucak hijau bakalan atau burung prospek menjadi jawara. Artikel ini merupakan kelanjutan seri pertama, dan menjadi bagian terakhir dari fenomena cucak hijau yang popularitasnya melambung sepanjang kuartal pertama 2013.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Meningkatnya popularitas cucak hijau disertai dengan sejumlah event organizer (EO) yang membuka 3-6 kelas CI, bahkan hadiah lomba yang makin besar, membuat beberapa pemain memilih jalan pintas dengan membeli gaco-gaco berprestasi. Apalagi bagi mereka yang nyaris tak memiliki waktu luang selain hari libur.

Martin & Gedang Ijo (Foto: Agrobur)

Hal inilah yang dialami Martin Rosa SF, kicaumania dari Jatibarang (lndramayu). Karena tidak punya banyak waktu luang, dia lebih senang membeli burung jadi. Beberapa waktu lalu, dia membeli Gedang Ijo dari tangan Pendik Lontong (Arema Malang), yang menjadi juara ketiga Kelas Cucak Hijau Emas dalam even 168 Cup II di Semarang.

“Daripada membeli cucak hijau bakalan, meski berpotensi, saya lebih suka membeli burung jadi dan melihat sendiri kualitasnya di lapangan. Gedang Ijo sering moncer di Blok Timur. Materi lagunya komplet, gaya ngetrok sambil buka jambul adalah ciri khasnya di lapangan,” kata Martin, seperti dikutip Agrobur usai mengikuti even Salma Cup.

Menurut Martin, membeli cucak hijau bakalan berprospek memerlukan proses serta waktu lama. Lain halnya jika burung sudah jadi, bisa langsung ditampilkan di lapangan.

Hal serupa juga dilakukan beberapa kicaumania di Samarinda. Misalnya Yogi LV (pemilik CI King), JNJ XB1 (Alken), dan Mr Dix (Si Doel). Karena kesibukan kerja, mereka hanya dapat berinteraksi dengan burungnya di hari libur saja. Itu sebabnya, membeli burung yang sudah mapan menjadi pilihannya, sehingga bisa dibawa ke lomba, setiap Minggu.

Harga cucak hijau di Samarinda saat ini sekitar Rp 400.000 – Rp 500.000. Harga ini hampir sama di Berau, Kalimantan Timur, yang berada dalam kisaran Rp 400.000 – Rp 600.000. Jika belum nopeng, atau belum kelihatan hitam di wajahnya, harganya sekitar Rp 250.000 – Rp 350.000.

Tetapi kalau burung sudah siap lomba, banderolnya bisa meningkat di atas Rp 1,5 juta. Jika sudah berprestasi di lapangan, otomatis harga makin melambung lagi, dan semuanya tinggal kesepakatan pemilik dan calon pembeli.

Mengincar bakalan dan burung prospek

Sebaliknya, kalangan ijomania di Bali lebih mengincar burung bakalan yang punya prospek, atau burung bagus namun “ditelantarkan” majikannya karena berbagai kesibukan . Karena itu, tak sedikit pemandu bakat, broker, atau pedagang profesional yang  berburu cucak hijau bakalan atau burung prospek di Jawa (khususnya Jawa Timur).

Setelah dirawat serta dilatih beberapa bulan, gaco-gaco anyar mulai dijajal dalam latber. Di latberan inilah para ijomania, baik pemain maupun penonton, saling memantau gaco-gaco baru yang punya prospek bagus.

Even latber menjadi media efektif untuk melihat burung prospek.

Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.

Hal serupa juga dilakukan Agung Tattoo Bali, pemilik cucak hijau Histeris, yang beberapa kali mencetak hattrick dalam even di Jawa maupun Bali. Dalam even 168 Cup II di Semarang, misalnya, Histeris juga memborong tiga gelar juara pertama dari empat kelas CI yang dilombakan (satu kelas lagi juara kedua).

Menurut Agung, membeli gaco yang sudah mapan belum tentu memberi hasil maksimal. Terkadang di tangan pemilik baru, burung tidak mau tampil. Ia sudah beberapa kali mengalami hal seperti itu sehingga kini lebih senang membeli burung bakalan maupun burung prospek lebih menguntungkan.

Proses take-over Histeris dari tangan Mr Kenken pun seperti itu. Ketika  memantaunya di sebuah lomba, Histeris hanya bisa maksimal di satu sesi saja, lalu gembos di sesi-sesi berikutnya. Dia tahu ini burung prospek, dan yakin bakal moncer di tangannya. Benar saja, begitu dibeli, burung ini terus mencetak prestasi regional maupun nasional.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Sebagaimana di Jawa dan Kalimantan, kelas cucak hijau di Bali juga sedang naik daun. Dalam Latber Minggu Fiesta yang digelar Tabanan BC, Minggu (12/5) lalu, kelas ini full peserta. Menurut beberapa pemain, harga cucak hijau bakalan di Tabanan dan Denpasar rata-rata di bawah Rp 1,5 juta. Namun, untuk burung prospek yang tampil di latberan, harganya minimal 2 juta.

Melihat popularitas cucak hijau yang kian melambung, beberapa pemain di Bali menjalankan bisnis sampingan sebagai pedagang. Mereka membeli puluhan ekor burung, dirawat sampai gacor, lantas diturunkan secara bergilir di even latber.

“Latber merupakan media paling efektif untuk jual burung. Kita bisa jualan langsung. Calon pembeli pun bisa melihat sendiri burung dan kualitasnya. Kalau harga cocok, langsung bawa pulang,” ungkap salah seorang pengorbit cucak hijau. CI yang beredar di Bali umumnya dari Jawa Timur, terutama dalam bentuk bakalan dan setengah jadi. Namun, belakangan mulai masuk pula CI dari Sumatera Barat.

Di Jogja juga ada beberapa pengorbit cucak hijau bertangan dingin. Salah satunya adalah Udin. Pria sederhana ini begitu piawai merawat CI bakalan maupun burung prospek di latberan. Salah satu besutannya yang kerap berjaya di even sekitar Jogja adalah cucak hijau Cinta Damai. Tentu ada kepuasan tersendiri melihat burung hasil rawatannya sendiri bisa berprestasi.

Udin (kiri) dan cucak hijau Cinta Damai.

Pemula pun bisa menjadi juara

Menurut Agrobur, salah satu sebab kelas cucak hijau dipenuhi peserta antara lain karena juara tidak hanya didominasi gaco-gaco tertentu. Akibatnya, banyak kicaumania yang penasaran ingin menjajal kemampuan burungnya. Hal ini dibenarkan sejumlah ijomania, termasuk Piyu Sky dari Samarinda.

“Karekteristik cucak hijau agak misterius, susah ditebak, sehingga juara baru sering muncul. Apabila sudah di lapangan, maka penampilan dan faktor keberuntungan ikut mempengaruhi hasil akhir. Jadi peluang juara masih terbuka bagi setiap peserta,” kata Piyu.

Banyak pendatang baru (baik burung maupun pemilknya) bermunculan di kelas ini. Salah satunya adalah Mr Yayang (Jakarta). Menurut dia, membeli burung mahal sebenarnya hanya mengumbar gengsi. “Sebab, pada dasarnya semua burung itu hampir sama, meski masing-masing memiliki bakat dasar yang berbeda,” ujarnya.

Semua kembali ke perawatan harian, dan itu sudah dibuktikannya melalui cucak hijau Dahsyat. Gaco ini terbilang pendatang baru, demikian pula pemiliknya. Namun sejak turun ke lomba, prestasi demi prestasi berhasil diraihnya. Awalnya hanya sekitar Jabodetabek, kemudian mulai berani tampil di luar kota.“Ini burung rumahan, dengan harga pasaran, tapi mampu mengimbangi lawan-lawan tangguh dalam berbagai even akbar,” ujarnya.

MrYayang bersama Dahsyat, yang dulu hanya burung rumahan.

Berikut ini tips perawatan Dahsyat:

  • Pakan utama berupa pisang kepok, yang diberikan setiap hari, kecuali Minggu dan Senin.
  • Minggu pagi, sebelum ke lomba, burung diberi apel merah.
  • Hari Senin, atau pasca-lomba, buah yang diberikan adalah pepaya California. Selain itu, agar kondisinya cepat pulih, burung diberi larutan penyegar cap Kaki Tiga.
  • Jangkrik diberikan setiap hari dengan porsi 3 ekor pada pagi hari dan 3 ekor sore hari. Tetapi menjelang lomba, porsi jangkrik untuk pagi dan sore hari dinaikkan dua kali lipat.
  • Tiga kali dalam seminggu, burung  diumbar selama 2-3 jam, sambil berjemur. Saat berada di kandang umbaran, burung menjalani latihan fisik terbang 100 kali bolak-balik, tetapi diselingi masa istirahat sekitar 10 menit.

Untuk proses pemasteran, Dahsyat cukup didekatkan dengan tengkek keling, dilapisi dengan variasi cililin, lovebird, dan burung gereja tarung. Hal itu dilakukannya setiap hari mulai pukul 15.00 hingga 18.00. Pada malam hari, setelah pukul 10.00, burung kembali diperdengarkan suara-suara isian tersebut.

Dengan perawatan seperti itu, Dahsyat yang semula hanya burung rumahan, dapat tampil maksimal di lapangan, sambil mengeluarkan tembakan tengkek keeling yang menjadi senjata andalannya, juga tonjolan suara gereja tarung, dan variasi materi lagu-lagu lainnya.

Sudah seabrek trofi yang dipersembahkan Dahsyat kepada pemiliknya, Mr Yayang. Kalau pun burung sudah kerja maksimal, dan gelar juara pertama bukan menjadi milik Dahsyat, Mr Yayang tak pernah mau mempersoalkannya. Sebab, sejak dulu, dia memang penggemar cucak hijau. Lomba hanya salah satu media untuk menguji kemampuan burung sebagai perkembangan dari hasil perawatan harian.

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.