Kabar bahwa di Pasar Burung Muntilan dan Magelang beredar burung hwamei / wambi hasil tangkapan dari lereng Merapi disikapi beragam oleh beberapa kalangan. Ada kicaumania yang membenarkan hal itu, bahkan mengaku memiliki sepasang hwamei dari lereng Merapi. Om Kicau coba mengkonfirmasi hal tersebut kepada dua pegiat Yayasan Kutilang Indonesia: Tomy dan Floren. Pasalnya, yayasan ini memiliki “laboratorium alam” di lereng Merapi, khususnya di sisi selatan. Apa jawaban keduanya?
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
—-
Beberapa pedagang di PB Muntilan dan Magelang mengaku, burung hwamei yang dijualnya berasal dari hasil tangkapan di lereng Merapi, khususnya sisi barat, yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Dukun, Srumbung, dan sekitarnya, yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Magelang.
Masalah ini pernah diangkat Tabloid Agrobur, dalam laporan utamanya yang menarik, dan Om Kicau pun memuat ulang dengan menambahkan beberapa bahan pendukung lainnya (silakan lihat arsipnya di sini).
Para pemikat tahu persis kalau burung yang ditangkapnya adalah hwamei, fauna asal China yang pernah popular pada dekade 1990-an, punya banyak penggemar, dan berharga mahal. Karena itu, mereka pun menjual hasil tangkapannya dengan banderol yang mahal pula, sekitar Rp 2 juta per ekor.
Harga ini jelas melampaui hampir semua jenis burung tangkapan alam lainnya, termasuk burung favorit seperti murai batu, kacer, dan anis kembang. Hanya cucakrowo yang harganya di atas Rp 2 juta. Namun, saat ini, jarang sekali kita menemukan cucakrowo hasil tangkapan hutan.
Dulu, hwamei diidentikkan dengan burung bos. Gengsinya memang sangat tinggi. Jika Anda merasa bos, maka harus punya dan melombakan hwamei. Kalau belum memilili dan melombakan hwamey, ya belum dianggap bos. Begitulah persepsi kicaumania waktu itu terhadap burung hwamei. Itu sebabnya, hwamei termasuk burung paling mahal ketika itu.
Tentang rumor keberadaan hwamei di lereng Merapi, dua pegiat Yayasan Kutilang Indonesia, Tomy dan Floren, mengatakan sejauh ini belum pernah melihatnya, terutama di sisi selatan lereng gunung berapi tersebut. Yayasan juga belum memiliki informasi pelepasliaran di masa lalu.
“Sejauh ini kami belum pernah melihat keberadaan burung hwamei di sisi selatan lereng Merapi. Kalau di sisi barat, kami memang belum sampai ke sana. Soal pelepasliaran hwamei, juga jenis burung lainnya, itu mungkin saja, tetapi kami juga tidak memiliki datanya. Mungkin saja pelepasliaran dilakukan secara mandiri dan tidak melaporkannya kepada kami,” kata Tomy.
Apabila Om Kicau mengkonfirmasi masalah ini ke Yayasan Kutilang Indonesia, yang bermarkas di Taman Kuliner Jogjakarta, itu karena organisasi nirlaba tersebut sangat peduli terhadap kelestarian burung.
Yayasan Kutilang Indonesia sering melakukan kegiatan pengamatan dan pengawasan burung-burung liar di alam bebas, khususnya yang dilindungi atau diambang kepunahan. Salah satu kawasan yang menjadi laboratorium alam bagi yayasan ini adalah wilayah selatan lereng Merapi.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
—-
Berdasarkan cerita dari para bakul burung di Magelang dan Muntilan, burung-burung hwamei itu dilepas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) di sisi selatan lereng Merapi. Sayangnya, tidak dijelaskan apakah pelepasliaran itu dilakukan pada masa Sri Sultan HB IX atau X. Ketika Merapi meletus, kawanan burung hwamei migrasi ke sisi barat, dan berkembang biak di sana.
Jika benar alam di lereng Merapi cocok untuk perkembangbiakan hwamei, mengapa tak dikembangkan secara serius sekalian?
Tomy menduga, pelepasliaran hwamei di masa lalu bisa saja terjadi. Hanya saja, kemungkinan besar hal itu dilakukan oleh beberapa warga Tionghoa untuk merayakan hari raya tertentu. Saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa memiliki ritual melepas burung ke alam liar pada saat perayaan Tahun Baru Imlek.
Bisa mengganggu eksistensi burung lokal
Kalau pengakuan para bakul itu benar, kita tidak perlu meributkan siapa yang melepas hwamei ke alam liar. Yang menjadi persoalan, keberadaan hwamei di lereng Merapi justru dapat mengganggu eksistensi burung-burung lokal di kawasan yang sama.
Saat ini terdapat 161 spesies burung di lereng Merapi, dengan tingkat populasi yang berbeda. Spesies dari keluarga elang dan alap-alap serta anis merah relatif sedikit. Bahkan elang jawa dan elang bido bisa dihitung dengan jari. Ada juga bentet kelabu alias cendet (Lanius sachach), betet (Psittacula alexandri), bondol haji, bondol-hijau binglish, bondol jawa, brinji gunung, cabai jawa (kemade), caladi ulam, cekakak jawa, dan lain sebagainya.
Burung-burung lokal umumnya kalah dalam perebutan sumber pakan, apalagi menghadapi hwamei yang tipikal fighter sejati. Mungkin hwamei hanya takut jepada burung dari keluarga elang dan alap-alap. “Bisa jadi, burung asing itu lebih cepat berkembang biak, sehingga populasinya makin bertambah, dan akhirnya malah menyingkirkan burung-burung lokal,” kata Tomy.
Jadi ada dua sudut pandang di sini. Dari sisi penggemar burung, apalagi penggemar hwamei, keberadaan spesies ini di lereng Merapi mungkin merupakan kabar baik. Tetapi dari sisi konservasi, di mana sebagian kicaumania juga peduli, keberadaan hwamei di alam bebas Indonesia justru menjadi kabar buruk. Kalau terus dibiarkan, dan populasinya bertambah pesat, ancaman kepunahan burung lokal pun makin besar.
Karena itu, jika benar hwamei berkembang pesat di sisi barat lereng Merapi, sebaiknya ditangkap, lantas dikandangkan saja. Bukankah penangkaran hwamei juga sangat menguntungkan? Yang terpenting lagi, burung-burung lokal bisa diselamatkan.
Untuk mempertahankan ekosistem di suatu wilayah, dalam hal ini lereng Merapi, Om Tomy dan Tante Floren mengingatkan, sebaiknya burung-burung yang bukan berhabitat di kawasan itu juga jangan dilepasliarkan. Artinya, yang dilepasliarkan sebaiknya ya spesies yang selama ini ada di lereng Merapi. Sebab, sama seperti hwamei, keberadaan mereka akan menggusur burung lokal.
Kasus serupa pernah dan masih terjadi di Australia, di mana burung jalak yang diintroduksi di Negeri Kanguru itu kini malah mengancam keberadaan burung-burung lokal setempat. Akibatnya, burung lokal malah terusir dari habitatnya. Pemerintah Australia kini menempatkan jalak sebagai burung hama terburuk (silakan lihat artikel selengkapnya di sini). (Waca)
dan menjadi renungan kita bersama.
—-
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.
harus di jaga gan jangan sampe punah ,
karena sudah langka sekali tuh
Di daerah Lombok, tepatnya di Sembalun (kaki gunung Rinjani) masih ada ditemukan burung robin, walaupun jumlahnya terbatas karena marknya perburuan liar. Penduduk meyakini robin2 di Lombok adalah keturunan dr burung2 robin yg dulu dilepasliarkan ke alam oleh ibu Tien Soeharto. Kabarnya, dulu hwa mei jg dilepasliarkan ke alam. Beberapa orang jg meyakini pernah melihatnya di alam liar, termasuk teman sy (sumber yg dpt dipercaya). Kalau ada pemikatnya, burung ini mungkin bisa ditangkap. Sayang, sepertinya di Lombok tdk ada org yg punya hwa mei utk dijadikan pemikat.
kayaknya keren tuuh.. kayaknya siih, hehehe..
emang keren burungnya om…
Wah, burungnya bagus banget. Apa itu termasuk burung yang masih legal untuk dipelihara? atau sudah termasuk burung langka.
iya, tangkap aja om, lebih baik dikandangkan dr pada nanti mengganggu burung endemik atau burung lokal lereng merapi yg lain…….
terus saya mau tanya om mungkin agak nyeleneh, apakah bisa om untuk mengajukan lowongan pekerjaan ke Yayasan Kutilang Indonesia???