Ujung Pancu (terkadang ditulis Ujong Pancu) terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Daerah ini, menurut Om Herry Aceh yang juga pakar murai batu di Indonesia, dikenal memiliki murai berkualitas, meski sekarang makin langka setelah habitatnya tergerus tragedi tsunami, 26 Desember 2004. Berdasarkan foto yang pernah diuploadnya, ada dua jenis MB di kawasan ini. Salah satunya cukup unik dan mengandung “misteri” karena bulu dada hingga perutnya putih kekuningan (istilahnya supak), dengan kaki agak kehitaman.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Murai batu supak dari Ujung Pancu. (Foto: Om Herry Aceh).

—-

Selain murai batu supak, satu jenis lagi sama seperti murai batu aceh pada umumnya, seperti dua gambar di bawah ini:

Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.

Murai batu Ujung Pancu non-supak. (Foto: Herry Aceh).

—–

Artikel kali ini hanya membahas murai batu supak, di mana bagian dada dan perut berwarna putih, atau putih kekuningan. Sebab ini memang aneh jika dikaitkan dengan peta persebaran berbagai ras murai batu maupun spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan dengannya.

Ujung Pancu adalah wilayah di bagian ujung Sumatera, yang termasuk wilayah Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Menurut Om Herry Aceh, jaraknya sekitar 20 km dari Kota Banda Aceh.

Selain memiliki murai batu berkualitas, daerah Ujung Pancu juga dikenal sebagai salah satu lokasi memancing favorit masyarakat Aceh. Namun, ketika terjadi tragedi tsunami, daerah ini mengalami kerusakan paling parah, termasuk kerusakan terumbu karang serta habitat murai batu. Untuk gambaran lengkap mengenai daerah Ujung Pancu, silakan lihat tayangan videonya di bagian akhir artikel ini.

Karakteristik murai batu supak

Warna hitamnya cenderung doff, tidak mengkilap. (Foto: Herry Aceh)

—–

Selain bulu dada dan perutnya yang berwarna putih atau putih kekuningan, murai batu supak memiliki warna hitam yang cenderung doff, alias tak mengkilap (glossy) atau indigo. Panjang bulu ekornya sekitar 20 cm, dan sanggup diangkat secara tegak lurus.

MB supak sejak dulu menjadi incaran para penggemar murai batu, baik di Aceh maupun kota lain di Indonesia. Beberapa muraimania senior mengatakan, MB supak memiliki gaya tarung yang super-fighter.

Bahkan sampai ada yang menyebut “urat takut” pada burung ini sudah putus (he.. he.. he..), karena saking beraninya. Selain mental tempurnya hebat, murai batu supak memiliki volume suara yang tebal (kristal).

Yang pasti, burung ini sangat langka. Sebab, tidak semua murai batu dari Ujung Pancu punya warna bulu dada dan perut supak: putih atau putih kekuningan.

Om Nanang Satriani (Malang) pernah memiliki pengalaman saat menurunkan gaconya dalam sebuah latpres. Ketika itu, burungnya digantang persis di sebelah murai batu supak.

Selama berlomba, MB supak terus mengeluarkan tembakan luar biasa, mental bertarungnya istimewa. Alhasil, MB milik Om Nanang lebih banyak ngetem dan malah anteng melihat aksi murai batu supak tersebut. Wow…

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Kecil kemungkinan akibat depigmentasi

Apabila kita telusuri semua ras yang ada dalam spesies murai batu (Copsychus malabaricus), sebenarnya tak ada satu ras pun yang memiliki ciri seperti murai batu supak. Semuanya pasti berwarna merah-karat atau oranye tua di bagian dada dan perutnya.

Belum diketahui pasti, apakah di Ujung Pancu (terutama sebelum tragedi tsumani) ditemukan banyak sekali murai batu supak. Jika jumlahnya hanya sedikit, mungkin kita dapat menduga penyebabnya adalah depigmentasi pada warna merah atau cokelat.

Tetapi kemungkinan seperti itu kecil. Sebab merah, cokelat, dan cokelat-merah berada dalam tanggung jawab pigmen melanin. Pigmen ini juga bertanggung jawab terhadap warna hitam dan kuning tua (kusam). Apabila bulu mengalami depigmentasi, tentu warna hitam juga akan hilang, sehingga murai batu menjadi albino.

Kalau depigmentasi terjadi tidak secara total, maka murai batu bukan mengalami albino, tapi menjadi murai batu blorok. Jadi, dari analisis ini, murai batu supak kecil kemungkinannya terjadi akibat depigmentasi.

Mungkinkah ini spesies murai andaman?

Murai andaman (Copsychus albiventris)

—-

Kemungkinan lain adalah masuknya murai andaman (Copsychus albiventris). Kerabat dekat murai batu ini merupakan burung endemik Kepulauan Andaman di sekitar Teluk Benggala, India.

Spesies ini pernah dimasukkan dalam salah satu ras / subspesies murai batu, namun sekarang dipisah karena perbedaan morfologi yang mendasar, terutama warna bulu dada dan perutnya.

Kalau melihat sejarah masa lalu, di mana para pedagang dari Gujarat India pertama datang ke Aceh untuk syiar Islam, dan menjadi cikal bakal masuknya Islam ke Indonesia, kemungkinan ini bisa saja terjadi. Artinya sebagian di antara pelaut dan saudagar ini datang ke Aceh sambil membawa murai andaman.

Banyak pelaut maupun saudagar dari mancanegara termasuk dari Belanda, Spanyol, Portugal, dan Inggris, datang ke Indonesia sambil membawa aneka satwa dari negerinya, lantas berbiak di negeri kita. Namun, untuk kebenaran mengenai masalah ini perlu penelitian mendalam.

Memang banyak sekali kemiripan antara murai andaman dan murai batu supak, terutama bulu dada dan perut yang putih atau putih kekuningan.

Mutasi juga menjadi kemungkinan realistis

Murai batu supak bisa dimungkinkan akibat mutasi.

—-

Jika faktor depigmentasi kurang realistis, maka mutasi genetik menjadi kemungkinan realistis terkait keberadaan murai batu supak, selain introduksi murai andaman di Aceh, khususnya di kawasan Ujung Pancu.

Mutasi pada murai batu ini bermula dari kekurangan gizi yang menyebabkan warna tertentu pudar. Menurut Margareth A Wissman (2005), nutrisi yang kurang atau tidak tepat diberikan kepada burung akan mengakibatkan kualitas warna bulu lama-kelamaan bakal berkurang dan memudar.

Jika sampai mabung berikutnya warna merah atau cokelat tetap memudar, bahkan hilang, ini akan mengarah ke mutasi warna. Bahkan jika periode mabung selanjutnya tak bisa pulih, bisa dipastikan burung benar-benar mengalami mutasi pada warna tertentu, dan perubahan sifat ini dapat diwariskan kepada anak-anak atau keturunannya.

Burung yang mengalami mutasi disebut mutant, di mana terjadi perubahan susunan DNA dan bersifat individu. Meski bersifat individu, DNA yang selalu berpasangan ini tersimpan dalam gen, dan menempati lokus gen dalam kromosom, sehingga bisa diwariskan kepada anak-anak atau keturunannya.

Jadi, menurut analisis Om Kicau, ada dua kemungkinan yang terjadi pada murai batu supak. Pertama, faktor introduksi murai andaman di Aceh, khususnya Ujung Pancu. Mengapa tidak ada murai batu di luar Ujung Pancu yang berciri supak? Karena murai batu bukanlah burung migran, melainkan burung penetap.

Kedua, faktor mutasi yang terjadi sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu. Jika analisis kedua ini benar, maka MB supak sejatinya tetap berasal dari spesies murai batu (Copsychus malabaricus). Kalau analisis pertama yang benar, maka MB supak termasuk murai andaman yang sudah beradaptasi dengan lingkungan Ujung Pancu.

Berikut ini video mengenai murai batu yang diupload Om Zamahsari di youtube. Hanya saja, kemungkinan besar suara yang terdengar bukanlah suara asli MB supak (mohon koreksinya, Om Zamahsari…):