Tulisan ini merupakan catatan Om Kicau ketika meliput langsung Lomba Burung Berkicau HUT Ke-27 TVRI Jabar di Bandung, Minggu (2/3) lalu. Sengaja dipisahkan dari hasil lomba, karena ada beberapa hal menarik yang dilakukan Ronggolawe selaku event organizer (EO) dalam rangka ikut memperbaiki kualitas lomba burung berkicau di Tanah Air. Seperti diketahui, aturan non-teriak masih teramat sulit ditegakkan. Bagaimana teman-teman Ronggolawe menegakkan aturan ini dalam HUT TVRI Jabar?
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Mendidik peserta lomba burung konvensional untuk tidak berteriak memang bukan pekerjaan yang mudah. Terus terang, berdasarkan pantauan Om Kicau selama ini, sebagian besar gagal ! Alhasil, aturan non-teriak hanya tertulis tegas pada brosur, pada spanduk di sudut-sudut lapangan, atau sekadar terucap oleh ketua panitia saat diwawancarai menjelang lomba.
Selain budaya non-teriak yang susah ditegakkan, masih banyak peserta yang menerobos ke lapangan alias melewati pagar pembatas. Kebiasaan menggantang burung paling akhir, terutama di sesi kacer, juga tak kunjung teratasi.
Setiap menghadapi pelanggaran para peserta, entah joki atau pemilik burung, panitia biasanya cuma bisa mengimbau lewat pengeras suara. Ketika imbauan tak diindahkan, panitia pun akhirnya memilih bersikap seolah-olah tidak mendengar, seolah-olah tidak melihat.
Kalau sudah begitu, masih adakah cara lain yang ampuh untuk membuat peserta diam, atau minimal tidak terlalu sering berteriak?
Ronggolawe punya kiat tersendiri. Kontes burung berkicau HUT Ke-27 TVRI Jabar memang tidak steril dari teriakan peserta. Jadi, teriakan tetap ada, dan inilah cara panitia mengatasinya.
Teriakan peserta (mungkin juga penonton) sempat terdengar beberapa kali, terutama di kelas murai batu, kenari, dan lovebird. Mendengar kebiasaan buruk tersebut, MC Endra segera bersikap. “Semua juri masuk ke pedok dulu. Silakan peserta berteriak sepuasnya. Juri biar istirahat dulu di pedok,” kata Endra.
Suasana pun menjadi hening.
“Bagaimana…, penilaian bisa dilanjut atau tidak?” Tanya MC lagi.
Ketika suasana lebih kondusif, Endra mengimbuhinya dengan pesan berikut ini:
“Sekali lagi saya ingatkan. Kalau sampai ramai lagi, juri saya tarik, dan lomba untuk sesi ini dibatalkan. Uang pendaftaran tidak bisa diminta kembali. Juga, kalau saya masih dengar ada yang teriak nomor gantangan, akan langsung saya dis. Saya tak main-main, silakan yang mau coba-coba.”
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Cara ini memang cukup efektif. Frekuensi teriakan jauh berkurang, meski masih terdengar beberapa kali, namun sudah tidak terlalu keras seperti sebelumnya. Dengan kata lain, tidak sampai mengganggu konsentrasi juri.
Sebelum ditertibkan, teriakan peserta memang luar biasa, lebih keras daripada burung-burung yang berlomba (meski sebenarnya lebih merdu kicauan burung, he.. he.. he..).
Saat itu, teriakan peserta telah “menenggelamkan” suara burung. Tentu saja, volume manusia yang berteriak lebih tembus daripada volume kicauan burung.
Namun, sekali lagi, upaya ini tidak mudah. Kejadian di mana peserta berteriak kencang bukan hanya dijumpai pada kelas murai batu, tetapi juga di beberapa sesi pada kelas kenari dan lovebird.
Menertibkan peserta dalam even besar seperti HUT TVRI Jabar, tentu jauh lebih sulit daripada latber atau lomba lokal. Dalam konteks latber / lomba lokal, EO yang sudah teruji mampu melakukannya adalah Kukilo Aji Bird Community, Pageraji, Purwokerto.
Om Kicau juga pernah menurunkan artikel mengenai insiden peserta lomba Kukilo Aji yang nekat teriak, dan bagaimana upaya panitia mengatasinya Silakan lihat selengkapnya di sini.
Sekali lagi, peserta lomba lokal atau latber jauh “lebih mudah” dikelola daripada even besar. Hampir semua even besar, meski awalnya menjanjikan non-teriak, selalu gagal menegakkan aturan ini. Jadi, kita perlu mengapresiasi upaya Ronggolawe dalam rangka mencari formula ideal untuk mengurangi kebiasaan berteriak saat lomba burung berlangsung. (Waca)
Semoga bermanfaat.
—