Sepinya kelas anis merah dalam berbagai lomba, latber, dan latpres burung berkicau belakangan ini membuat sejumlah merahmania galau. Mereka sebenarnya ngin agar kelas ini bisa kembali ramai seperti dulu, sehingga para penggemarnya tetap bergairah merawat burungnya. Harga jual di tingkat breeder maupun di pasar burung pun bisa kembali terdongkrak.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Sarasehan anis merah berlangsung hangat di Taman Kuliner Jogja, Jumat (26/9) malam.

Anis merah memang masih ramai di daerah tertentu, terutama di Jawa Barat. Namun di daerah lain makin menyusut. Bahkan anis merah yang dulu menjadi kelas primadona di Bali, posisinya kini sudah disejajari cucak hijau dan cendet.

Kegelisahan tidak hanya dialami para penggemar anis merah. Sejumlah event organizer (EO) pun ikut galau. Mau tak mau, EO mesti menyesuaikan diri dengan antusias peserta yang menurun. Misalnya, mengurangi jumlah kelas. Kalau dulu bisa dibuka 2-3 kelas, sekarang hanya satu kelas.

Bahkan ketika hanya buka satu kelas, EO kerap menempatkannya sebagai kelas paling buncit dengan harga tiket paling murah. Celakanya, kebijakan ini malah direspon sebaliknya oleh para pemain anis merah, yang enggan menurunkan burungnya.

Om Sapta dan Om Gosong, dua punggawa Taman Kuliner Kicau Mania (TKKM) Jogja, lalu berinisiatif mengundang para merahmania untuk berkumpul dan membicarakan masalah ini dalam sarasehan di Taman Kuliner Condong Catur, Sleman, Jogja, Jumat (26/9) malam.

Sambutan cukup meriah. Sekitar 30 peserta datang dalam sarasehan yang berlangsung mulai pukul 20.00 hingga pukul 22.30 itu. “Sebagian saya undang melalui facebook,” kata Om Gosong.

Ini sebenarnya merupakan keinginan lama dari para pegiat TKKM, tapi baru bisa direalisasi semalam. Peserta bukan hanya dari Jogja, namun juga dari daerah lain seperti Muntilan. Mereka mewakili EO, pemain pemula, pemain senior, hingga penggemar anis merah rumahan (tidak pernah / jarang ikut lomba).

Sejumlah perwakilan EO di Jogja pun hadir, mulai TKKM, Kicau Mania Yogyakarta (KMYK), Sambego, Pos Jakal, Kawula Alit Tlogorejo, hingga Pasty di wilayah selatan Jogja.

Kalah melulu jadi malas lomba

Setelah dibuka, para peserta diberi kesempatan menyampaikan unek-unek terkait sepinya kelas anis merah. Seorang peserta yang mewakili pemain pemula mengatakan, para pemula ingin pula meraih juara, mendapatkan bendera koncer.

Tetapi hal ini sulit terwujud. Sebab dalam latber paling murah pun, sejumlah burung yang notabene sering juara di lomba regular juga sering diturunkan.

“Jadi, kapan kami para pemula bisa mendapat kesempatan menang kalau burung yang sudah sering juara di lomba besar juga ikut bersaing dalam latber? Teman-teman lalu bilang, kalau kalah melulu, lama-lama juga jadi malas. Terkadang kami juga melihat juri latber pun masih berat sebelah, masih melihat sangkar dan siapa yang menggantang. Hal ini juga membuat kami berkecil hati,” ujarnya.

Sebagian peserta sarasehan anis merah di Taman Kuliner Jogja.

Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.

Om Didik, yang sudah menggeluti anis merah sejak era 1980an, mengaku tidak masalah jika burung langganan jawara maupun burung orbitan baru diturunkan dalam latber. Asalkan juri menilai secara fairplay dan benar-benar mengedepankan kualitas burung, bukan “keder” melihat sangkar dan sang pemilik atau orang yang menggantang burung.

“Sayangnya, berdasarkan pengalaman menurunkan burung di berbagai ajang di Jogja, terlihat jelas bahwa pakem atau mungkin selera setiap EO berbeda-beda. Itu membuat para pemula jadi bingung, sebenarnya yang dicari itu seperti apa,” kata Om Didik.

Akhirnya muncul kesimpulan yang negatif. Misalnya burung mau kerja kok di tempat latihan A tidak pernah nyantol. Adapun di lokasi B bisa nyantol. Berarti juri di lokasi A tidak fairplay. Padahal belum tentu begitu, bisa juga karena pakem yang dipakai berbeda.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Butuh kriteria tertulis yang lebih jelas

Munir, penggila anis merah, pun mengusulkan agar EO (khususnya TKKM) segera membuat kriteria tertulis agar para peserta tahu kriteria penilaian, termasuk urutan / prioritas penilaian. Dengan cara seperti ini, setiap pemain bisa mengukur apakah burung miliknya sudah sesuai dengan kriteria atau belum.

“Selama tidak ada kriteria yang jelas, selama itu pula kita hanya bisa meraba-raba. Kalau ada kriteria tertulis, itu bisa menjadi patokan bagi semuanya. Saat terjadi komplain, panitia atau pimpinan juri punya dasar untuk menjelaskannya,” kata Om Munir.

Durasi lomba terlalu pendek

Kelas anis merah masih ramai di Blok Barat, seperti dalam even Wali Kota Cup Depok (9/3/2014).

Durasi penilaian yang terlalu pendek juga dipersoalkan. Umumnya latber hanya memberi waktu tiap kelas, termasuk anis merah, sekitar 3-5 menit. Jadi, ketika ada burung yang baru saja mau bunyi, eh.. waktu penilaian sudah selesai.

Yang menggelikan lagi, terkadang ada EO yang tidak memiliki waktu terukur. Pokoknya begitu sudah ada 3-4 burung yang kerja, dan sudah bisa dicari juara 1-3, penilaian pun selesai.

Tentu saja hal ini membuat para peserta kurang puas. Apalagi ada beberapa burung dengan materi bagus cenderung perlu waktu agak lama agar benar-benar bisa mengeluarkan semua senjatanya.

Karena itu, muncul keinginan agar durasi penilaian bisa ditambah, sehingga sebagian besar burung bisa terpantau dengan baik.

Setelah mengolah masukan dari berbagai pihak, Om Sapta dan Om Gosong pun membuat beberapa kesimpulan yang diterapkannya dalam Latber TKKM.

“Untuk sementara kita terapkan dulu di TKKM. Ke depan, kita akan bertemu dengan EO lain supaya semuanya bisa menerapkan kriteria yang sama, atau setidaknya hampir sama,” ujar Om Sapta.

Om Sapta: Kesepakatan akan diterapkan di TKKM Jogja.

Kesimpulan sarasehan anis merah di TKKM

Berikut ini beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam sarasehan anis merah di TKKM semalam:

  1. Durasi penilaian untuk anis merah ditetapkan minimal 10 menit. Apabila jumlah peserta cukup banyak, ada kemungkinan ditambah. Konsekuensinya, jadwal latber yang sebelumnya dimulai pukul 16.00, akan dimajukan menjadi 15.30 agar tersedia cukup waktu, termasuk untuk jenis burung kicauan lainnya.
  2. Menertibkan para peserta agar benar-benar berada di luar pagar, sehingga tak mengganggu burung-burung di gantangan pinggir. Aturan tanpa teriak dan tidak saling menunggu perlu ditegakkan, sehingga latber bisa berjalan tepat waktu (selesai sebelum hari gelap).
  3. Menunjuk peserta secara bergilir untuk menjadi juri pendamping, sehingga peserta juga bisa merasakan aura menjadi juri dan menilai burung dari dekat. Sebab tidak selamanya burung yang dari luar terlihat hebat kerjanya, karena ketika dipantau dari dekat mungkin volumenya tidak keluar, variasi lagu kurang, dan semacamnya. Juri pendamping dari wakil peserta juga bisa menjadi semacam second opinion bagi juri resmi latber.
  4. Perlu adanya zoning area bagi juri. Jadi, lapangan akan dibagi 6 zona sesuai dengan jumlah juri. Setiap juri menempati zona masing-masing, dan secara periodik berputar, sehingga juri tidak boleh menggerombol, tidak boleh saling bertanya dan bisik-bisik. Juri-juri harus dapat menilai burung secara mandiri, berdasarkan hasil pantauannya sendiri.
  5. Memberikan hadiah secara utuh. Berapa pun pesertanya, hadiah untuk juara 1 tetap keluar. Tidak ada istilah hadiah mulai juara 2 dan seterusnya, apalagi hadiah menyesuaikan. Apabila peserta lebih dari 10, urutan juara 1-10 tetap keluar, meski urutan buncit mungkin hanya akan menerima piagam saja. Usulan tambahan trofi juga akan dipertimbangkan.
  6. Melanjutkan pertemuan secara regular, untuk bisa mendiskusikan dan mengevaluasi apakah hal-hal yang akan diterapkan nanti sudah sesuai dengan keinginan para penggemar anis merah.
  7. Mengadakan pertemuan lanjutan dengan sejumlah EO dan juri di Jogja, untuk menyamakan persepsi atau pakem penilaian, sehingga tidak membingungkan para peserta.

Semoga bermanfaat.

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.