Ajang lomba burung kicauan umumnya selalu riuh oleh teriakan para pemain (entah joki atau pemiliknya), bahkan acapkali membawa sejumlah suporter yang tak kalah riuhnya. Mereka menirukan suara burung, bertepuk tangan, meniup alat bunyi (peluit), dan tidak sedikit pula yang menyebut nomor gantangan sambil memanggil-manggil nama juri yang bertugas.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Bagi sebagian kalangan, suasana seperti itu dianggap sebagai “bumbu” pelengkap dalam lomba burung kicauan. Namun, bagi sebagian lainnya, justru dirasa sangat mengganggu, serta mengurangi kenyamanan saat mengikuti kontes.
Karena itu, muncullah pertanyaan: Bisakah lomba burung kicauan berlangsung kondusif, tanpa teriakan,  tanpa “intimidasi” pemain terhadap juri?
Jawabannya bisa “ya”, bisa juga “tidak”, tergantung cara pandang masing-masing. Hal ini seperti dua sisi mata uang.
Pertama: dari sisi pemain
Teriakan para pemain, membunyikan peluit, tepuk tangan, menyebut nomor gantangan, hingga memanggil-manggil nama juri dapat dimaknai sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap kinerja para juri.
Pada aspek ini, pemain dan suporter khawatir jika gaconya luput dari pantauan tim juri, dan itu memang kerap terjadi dalam berbagai perlombaan. Di sini, juri dari EO manapun harus berani introspeksi diri.
Bagaimana jika semua pemain (katakanlah 60 orang, berdasarkan jumlah full gantangan) berteriak-teriak dan merasa gaconya tampil bagus tapi tak dipantau maksimal oleh juri? Di sinilah dibutuhkan ketajaman insting seorang juri lomba burung.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Terkadang ada juri yang gampang terprovokasi oleh teriakan pemain, sehingga dengan mudah memberi nilai 38. Padahal menurut pengamatan penonton yang sebagian sangat faham cara penilaian, gaco tersebut tidak bekerja maksimal. Ini juga acapkali dikeluhkan para pemain, sebagaimana terbaca dalam berbagai status mereka di medsos.
Belum lagi para pemain harus menghadapi kenyataan adanya indikasi juri-juri nakal yang main mata dengan pihak-pihak tertentu. Main pasang striker atau tetenger lainnya pada sangkarnya. Repot, kan?
Kedua: dari sisi juri dan / atau EO
Teriakan pemain, dan sejenisnya, di mata juri maupun event organizer (EO) justru sering dimaknai sebagai bentuk “ketidakdewasaan”. EO selalu meyakinkan semua peserta agar memercayakan sepenuhnya penilaian kepada juri di lapangan.
Persepsi ini memang benar, tetapi juri dan / atau EO tidak bisa melimpahkan kesalahan ini sepenuhnya kepada para pemain. Sebab banyak alasan mengapa pemain berteriak-teriak, menyebut nomor gantangan, dan memanggil nama juri, sebagaimana dijelaskan pada poin pertama.
Seorang juri, idealnya, tidak hanya memahami pakem penilaian di mana setiap EO punya ciri khas masing-masing. Dia juga perlu memiliki mental kuat dan ketajaman insting.
Juri yang punya mental kuat biasanya sudah ditempa oleh pengalaman dan jam terbang dalam berbagai even. Adapun ketajaman insting bisa dipungut dari pengalaman pelihara burung, apalagi pernah menjadi pemain lapangan.
Perlu digarisbawahi, memelihara burung memang bukan syarat wajib menjadi juri. Tapi menjadi agak aneh juga kalau ada juri yang tak pernah punya pengalaman memelihara burung kicauan.
Lalu, adakah lomba burung yang masuk dalam kategori kondusif, tanpa teriak, steril dari “intimidasi” peserta? Jawabannya tentu ada, tapi langka!
Salah satu contoh yang langka itu adalah Gantangan Maha Dewa di Sumenep, Madura. Gantangan yang berlokasi di Jl Kurma III Pangarangan (belakang kantor PKB), Sumenep, itu baru dilaunching 2 Oktober 2016.
Beberapa waktu lalu, tepatnya 29 Januari 2017, EO ini mengadakan lomba burung Maha Dewa Fiesta. Berdasarkan pantauan langsung dan testimoni sejumlah pemain luar kota, suasana lomba memenuhi unsur kondusif seperti diuraikan di atas.
Panitia tahu persis bagaimana cara memanjakan para pemain, antara lain menyediakan tempat duduk di dalam arena lomba, lengkap dengan fasilitas air mineral, sehingga para pemain dan penonton sama-sama bisa menikmati lomba.
“Tidak ada teriakan sama sekali. Bahkan kelas lovebird yang biasanya sangat riuh, tetap tidak ada teriakan, sehingga peserta dan penonton merasa puas,” kata seorang teman di Jogja yang ikut menghadiri even tersebut.
Mewujudkan suasana kondusif dalam lomba burung kicauan memang tidak mudah, dan itulah tugas setiap event organizer, baik EO arus utama / mainstream seperti Radjawali Indonesia, Ronggolawe Nusantara, BnR, dan PBI, maupun EO independen.
Para penyelenggara lomba tidak bisa hanya menuntut kesadaran pemain dan penonton agar tidak berteriak. Kesadaran serupa juga harus ditunjukkan setiap EO, misalnya tidak mempermainkan aturan lomba, selalu menepati janji sebagaimana yang tertera di dalam brosur yang mereka sebarkan. Jadi, jangan cuma omdo (omong doang)!
Ada beberapa EO yang melakukan prosesi penyumpahan (atas nama Tuhan) terhadap juri-juri sebelum menjalankan tugasnya. Itu boleh-boleh saja, dan tidak salah. Tapi siapa bisa menjamin bahwa juri yang telah disumpah tak akan goyah imannya ketika tawaran “gaji” di luar tugas sebagai pengadil sangat menggiurkan?
Faktanya tidak demikian, bukan? Meski sudah disumpah, tetap saja ada pemandangan kasat mata, tim juri memenangkan burung tidak bekerja, dengan mengabaikan burung yang selayaknya juara.
Ada pula EO yang menerapkan disiplin sangat ketat, mulai dari peraturan tertulis hingga melibatkan aparat keamanan negara: polisi dan / atau tentara. Arena gantangan terasa seperti olah TKP. Tetapi, meski demikian, adakah jaminan suasana lomba kondusif tanpa teriak? Faktanya, lagi-lagi, tidak selalu begitu!
Jargon “non-teriak” hanya menjadi pemanis bibir EO dan aturan penghias dinding, yang tidak pernah diwujudnyatakan, alias janji palsu.
Kondusivitas lomba sesungguhnya dapat terjadi jika masing-masing pihak sadar diri. EO / juri harus jujur tanpa suap. Dan, para pemain pun sadar bahwa ini lomba burung, bukan lomba teriak. (Bung Ali / Jogja)
Penting:Â Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.