Tak perlu fanatik soal daerah asal murai batu –Awalnya, sebagian kicaumania menyangka bahwa murai batu berasal dari Medan. Wajar saja, karena saat itu banyak murai medan yang dilombakan. Alhasil, Medan pun jadi ngehits jika ada obrolan soal murai batu.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Beberapa tahun kemudian, ada murai batu hasil tangkapan hutan di Aceh yang berhasil memenangi lomba. Nama Aceh naik daun. Muncul argumen baru, murai batu yang bagus untuk lomba tak hanya dari Medan, tetapi juga dari Aceh.
Arah pembicaraan mengenai daerah asal murai batu berkualitas sempat berbelok lagi, ketika muncul fenomena baru mengenai murai batu Natalia. Gaco andalan Om Gunawan (Solo) ini selama bertahun-tahun menjadi langganan juara even-even akbar di Indonesia.
Asal tahu saja, Natalia termasuk murai baru ekor hitam dan berasal dari Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Kehebatan MB Natalia membuat para kicaumania pun terhenyak. Oh, murai batu ekor hitam asal Nias juga hebring di lapangan. Mental tempurnya hebat.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Nah, apabila mengikuti tiga narasi di atas, muncul kesimpulan: pendapat kerap berubah-ubah, dan hanya berdasarkan kasus per kasus. Ada tendensi untuk mempromosikan “jualan” masing-masing.
Bahkan seringkali terjadi klaim palsu: murai A dari Medan, murai B dari Aceh, dan murai B dari Nias. Padahal kerap terjadi pula murai batu A, B, dan C tersebut bukan berasal dari daerah yang dimaksud.
Fanatisme pada daerah tertentu, apalagi sampai berimbas ke klaim palsu, jelas tidak mencerdaskan. “Mestinya kita lebih mengedepankan kriteria murai batu yang bagus itu seperti apa,” ujar Om Henry Aryanta, owner Mataram Murai BF Jogja.
Pasalnya setiap strain murai batu (misalnya dari Aceh, Medan, Nias, Lampung, Jambi, dll) punya plus-minus tersendiri. Semuanya punya potensi jadi juara. Setiap individu (bukan strain) juga mempunyai kualitas suara dan kualitas mental yang berbeda-beda.
“Jadi tidak perlu fanatik terhadap strain tertentu. Tinggal tanya pada diri masing-masing, apakah kita merawat murai batu untuk tujuan lomba, dagang, breeding, atau sekedar koleksi,” tutur Om Henry.
Hentikan debat murai batu hasil breeding vs tangkapan hutan
Perdebatan tentang siapa yang lebih hebat antara murai batu hasil tangkapan hutan dan hasil ternak juga harus dihentikan. Sebab dalam berbagai lomba sering terjadi murai batu hasil breeding mampu mengalahkan hasil tangkapan hutan. Begitu pula sebaliknya.
Bahkan, mencermati perkembangan terbaru terkait Permen LHK No P.20 / Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi, sudah saatnya para pemain lomba lebih mengedepankan hasil breeding daripada tangkapan hutan.
Sebagian besar kicaumania memang menolak Permen LHK tersebut, terutama penetapan murai batu sebagai burung dilindungi. Apabila Pemerintah RI nantinya mau memenuhi aspirasi para kicaumania, kita pun harus meresponnya dengan tidak lagi melombakan murai batu hasil tangkapan hutan, meski murai batu batal ditetapkan sebagai satwa dilindungi. (neolithikum)