Salah satu narasumber dalam Munas I Plecimania Indonesia (PCMI) di Jogja, 7 Januari 2012, Ige Kristianto Muladi (Ketua Yayasan Kutilang Indonesia) menyebutkan perlunya plecimania mengembangkian budaya baru dalam berhobi burung. Berikut ini adalah artikel Om Ige – yang ditulis untuk omkicau.com – membahas lebih jauh apa yang dimaksudkan sebagai budaya baru dalam kaitan mencegah kepunahan burung, beranjak dari kasus maraknya lomba burung pleci.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Mencegah burung punah dengan contoh kasus pada pleci

Oleh: Ige Kristianto M
ige_muladi@yahoo.com
Yayasan Kutilang Indonesia
www.kutilang.or.id

Maraknya lomba burung pleci memunculkan kekhawatiran banyak orang. Semakin marak lomba, maka permintaan terhadap pleci akan naik yang akan mengakibatkan terjadinya penangkapan secara besar-besaran dan akan berujung pada kepunahan pleci. Terlebih hal serupa telah terjadi pada banyak jenis burung yang kini banyak dipelihara bahkan telah berhasil ditangkarkan.

Kita bisa melihat apa yang terjadi dengan perkutut, kacer, jalak suren dan jenis-jenis burung lain yang dulu (atau paling tidak menurut kakek-nenek kita) sangat mudah kita temui di sekitar rumah, namun setelah banyak dipelihara dan nilai ekonominya naik, kini jenis-jenis burung tersebut tidak pernah lagi kita jumpai di sekitar rumah kita.

Sejatinya tidak sedikit pula catatan peneliti yang melaporkan bahwa sekitar tahun 80’an kita bahkan masih bisa menemukan sarang kacer, jalak putih, dan gelatik jawa di atap rumah; juga perkutut, tekukur, ciblek dan banyak jenis lain yang bersarang di pohon-pohon di halaman rumah kita.

Penangkapan burung, terlebih secara besar-besaran memang merupakan salah satu faktor pemicu penyebab kepunahan burung, termasuk pleci, sehingga kekhawatiran banyak orang ini tentu sangat-sangat beralasan. Meski demikian, ada faktor lain yang seringkali berada di luar jangkauan kita yaitu perubahan fungsi lahan dan habitat.

Halaman rumah yang dulu masih mempunyai banyak jenis pohon yang disukai burung karena menyediakan tempat bersarang, berlindung juga makanan, kini telah berganti menjadi garasi mobil, kolam renang, dan kalaupun ada tanaman hanya berisi tanaman hias yang sedap dipandang mata “manusia masa kini” tapi tak bermanfaat untuk burung.

Ringkasnya penyebab kepunahan adalah sifat dasar manusia yang tak berbudaya, yaitu SERAKAH dan RAKUS. Keserakahan dalam pengertian yang luas, tidak hanya serakah terhadap manusia lain tapi juga serakah terhadap makhluk hidup yang lain. Karenanya untuk mencegah burung punah, sebagai makhluk yang berbudaya kita mestinya dapat menciptakan kebiasaan atau budaya baru yang mengatur pemanfaatan kita terhadap semua jenis burung, termasuk pleci.

Menghadirkan sebuah kebudayaan baru memang tidak mudah, terlebih dalam hal hobi yang melibatkan mafia oportunis. Mereka adalah orang-orang yang hanya mencari keuntungan sesaat dari maraknya lomba suatu jenis burung dan akan segera beralih pada jenis burung lain lagi dengan meninggalkan banyak persoalan.

Om Ige – kedua dari kiri – ketika jadi salah satu narasumber Munas PCMI I Jogja

Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.

Mecegah kepunahan

Berikut adalah beberapa pikiran tentang kebiasaan atau budaya baru dalam memelihara, termasuk melombakan, suatu jenis burung untuk mencegah kepunahan burung, termasuk pleci.

Pertama, menyangkut jenis dan jumlah burung yang boleh dipelihara oleh seseorang. Praktek semacam ini dapat kita lihat pada beberapa desa adat di Bali. Teknisnya dapat berbeda-beda di tiap desa adat, ada yang tiap rumah hanya boleh memelihara 3 ekor burung (jenis apapun), namun di desa adat yang lain ada yang memberlakukan hanya boleh pelihara 4 individu untuk tiap jenis.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Hal ini sangat penting karena saat ini jumlah penghobi burung yang tidak beridentitas sangat besar, mereka adalah penghobi yang hanya memelihara jenis burung yang sedang menjadi trend di pasar burung. Mereka akan banyak memelihara anis merah ketika lomba anis merah marak, kemudian akan berganti ke pleci ketika lomba pleci marak, dan akan terus berganti mengikuti permainan para mafia opportunis.

Kelompok ini menjadi sasaran empuk para mafia oportunis sekaligus pemegang pelatuk keterancaman punah suatu jenis burung. Karenanya penting bagi setiap orang untuk memastikan identitas ke-hobi-annya atas burung dengan mendeklarasikan diri atau bersama kelompok atau komunitasnya atau klub burungnya terkait jumlah jenis burung yang akan dipelihara dan jumlah dari tiap jenisnya.

Mereka yang belum berani mendeklarasikan diri bukanlah penghobi burung tapi hanya konsumen burung yang selalu menjadi bulan-bulanan para pedagang.

Dalam konteks pleci, saat ini sudah ada wadah bagi para penghobi pleci. Salah satu wadahnya adalah BPMI yang aktif berkomunikasi lewat group facebook PLECIMANIA INDONESIA. Sebagai open group, di akhir bulan april 2012 anggota group ini sudah mencapai 5.425 ID. Jika tiap ID membatasi diri hanya memelihara enam ekor pleci saja, maka tidak kurang dari 32.550 ekor burung pleci saat ini tengah dipelihara.

Dengan asumsi umum bahwa hanya 30% burung hasil tangkapan alam (muda hutan) yang dapat selamat menempuh rantai perdagangan burung sampai ke tangan pemelihara, maka sudah 108.500 ekor yang tidak lagi hidup bebas di alam. Data semacam ini harus dimiliki oleh setiap pribadi ataupun komunitas, karena merupakan alat paling mendasar untuk dapat mengukur keserakahan atau kerakusan seseorang.

Sejatinya kebiasaan atau aturan pembatasan semacam ini belum pernah ada pada sebuah lembaga atau komunitas penghobi burung, sehingga jika pembatasan semacam ini dapat diwujudkan oleh BPMI, maka BPMI akan menjadi organisasi pertama yang menerapkan salah satu prinsip dalam “Biodiversity Sustainable Use” di Indonesia.

PBI telah menjadi pioneer di bidang pembatasan lomba burung hasil penangkaran. BnR menjadi pioneer di bidang “pinjaman” indukan untuk penangkaran. Di sinikah BPMI akan menjadi pioneer?

Kedua adalah pembatasan terkait asal-usul burung yang kita pelihara. Hal ini sudah diatur dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Memelihara burung yang ditangkap dari kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam (bisa juga kita sebut sebagai kawasan konservasi) telah dilarang dan memiliki sanksi hukum.

Permasalahannya, sangat sulit membedakan burung yang ditangkap dari kawasan konservasi dan tidak dari kawasan konservasi sehingga kita hanya bisa membedakannya secara sukarela. Sederhananya, tanyakan dari mana asal-usul burung yang akan kita beli. Jika burung itu berasal dari taman nasional atau dari hutan lindung, maka JANGAN DIBELI!.

Kawasan-kawasan konservasi telah dibuat untuk melindungi sisa populasi burung yang hidup di alam agar dapat terus lestari, sehingga tidak membeli burung yang ditangkap dari kawasan konservasi akan berkontribusi besar untuk menghindarkan suatu jenis burung dari kepunahan.

Ketiga adalah dengan merawat “momongan” dengan baik dan benar, tidak melepas-liarkannya secara “sembarangan”, dan mulai menangkarkannya. Kita yakin bahwa tidak ada penghobi yang ingin burung yang dipelihara mati dan atau terlepas dari sangkar.

Ketiga hal di atas dapat menjadi budaya baru dalam memelihara burung untuk menghindarkan burung dari kepunahan. Ketiga kegiatan ini juga dapat kita mulai dari diri kita sendiri dan saat ini juga.

Ramah Lingkungan

Selanjutnya, kita bisa juga mengembangkan budaya baru yaitu menjadi pemelihara burung yang ramah lingkungan.

Pertama adalah dengan menyisihkan uang untuk membeli bibit berbagai jenis pohon yang bermanfaat bagi burung, seperti bibit berbagai jenis pohon beringin, aren, dan dadap untuk kita tanam pada kawasan hutan lindung atau hutan konservasi yang telah rusak atau cukup tanaman buah seperti jambu air, kersen, wuni, salam, dll, yang dapat kita tanam di halaman rumah, taman kota, atau titip ke halaman rumah tetangga.

Sederhananya, jumlah uang yang harus kita sediakan untuk membeli bibit pohon adalah 10% dari jumlah uang yang kita keluarkan untuk biaya memelihara burung. Tentunya ini adalah jumlah minimal, sehingga semakin besar akan semakin baik.

Pemelihara burung paling ramah lingkungan adalah mereka yang tetap memiliki halaman rumah yang cukup untuk tempat hidup minimal satu jenis pohon atau mereka yang menanam dan merawat minimal satu pohon di ruang publik. Intinya kita perlu mengembangkan budaya untuk melindungi habitat atau tempat hidup burung dengan segala daya yang kita mampu, termasuk ikut melarang dan mengingatkan para “penembak mania” yang hanya menjadikan burung sebagai sasaran tak berguna.

Kedua, kita perlu membuat tradisi baru dalam lomba burung. Misalnya, dalam setiap tiket lomba kita juga berikan biji pohon tertentu, bisa asam jawa, mangga, turi, jeruk, manggis, sawo, langsat, duku, salam, nyamplung, dan wuni. Mungkin biji itu akan dibuang sembarangan, tapi air hujan akan membawanya ke suatu tempat dan tangan-tangan lain akan merawatnya hingga tumbuh. Syukur jika setiap peserta lomba berkenan membenihkannya dan menanamnya di rumah masing-masing. Biji-bijian ini tentu saja bisa kita gantikan dengan bibit, tapi kurang praktis dan lebih mahal.

Ketiga kita perlu terus mendorong terwujudnya budaya baru berupa hanya dipelihara dan dilombakannya burung-burung hasil penangkaran. Burung tangkapan dari alam hanya boleh dibeli oleh penangkar untuk memperkaya keragaman genetik. Kalau perlu, burung dari alam hanya boleh dijual sprema dan sel telurnya saja.

Budaya baru ini hanya dapat terwujud ketika ada yang memulai. Diperlukan perjuangan, pengorbanan, dan keteladanan untuk dapat mewujudkannya. Dan karena itulah hanya para pendahulu yang berada dalam catatan sejarah untuk selalu dikenang oleh generasi penerus. (*)

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.

-7.550085110.743895