Di grup Komunitas Pecinta Muraibatu Indonesia di facebook ada yang menyatakan di Sumatera pernah dilepas-liarkan ribuan burung murai batu asal Kalimantan (murai batu borneo) dan akhirnya ada yang ditangkap dan diperjualbelikan sebagai murai batu Sumatera. Isu apa fakta?

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Murai Borneo Palangka

Di grup tersebut, awalnya disebutkan bahwa murai batu borneo dilepasliarkan sampai sebanyak 2000 ekor oleh seorang gubernur di sana dan ada yang menyebutkan itu dilepaskan oleh seorang pengusaha.

Menurut saya, soal pelepasliaran itu nonsense belaka. Kalau memang ditemukan murai batu borneo di pasaran manapun di Sumatera, maka itu adalah akal-akalan pedagang untuk mencari untung. Kasus itu sama seperti kasus cucakrowo dari Kalimantan yang diangkut ke Medan dan dijual sebagai cucakrowo Sumatera.

Mengapa?

Kalau benar ada pelepasliaran dan itu dilakukan oleh Gubernur yang notabene pejabat negara yang punya penasihat seperti BKSDA dan atau Biro KLH dsb, menurut saya tidak mungkin karena ada aturan (bahkan berlaku secara internasional) tidak boleh melepas burung dari habitat satu ke habitat lain untuk tujuan konsevasi atau apapun namanya tanpa adanya penelitian awal dan monitoring berlanjutan.

Kalau itu yang melepas adalah pihak swasta, maka jelas itu melanggar aturan dan bisa kena sanksi hukum.

Pelepasan yang terjadi selama ini sekadar acara seremonial seperti misalnya ketika Om Boy dan Om Rusli (saat masih akur) melepas 50 pasang MB dan CR di Sumatera Selatan berkaitan dengan Lomba Burung Gubernur Cup 2010 di Palembang.

Meminjam istilah yang ditulis di kutilang.or.id ( http://www.kutilang.or.id/burung/konservasi/melepas-burung-bukan-melepas-tanggung-jawab/) tindakan seremonial seperti itu tidak ubahnya tindakan Anang dan Ashanty yang melepas sepasang merpati putih pada 12 Mei 2012 lalu sebagai pertanda akad nikah. Atau tindakan beberapa orang yang suka melepas ratusan burung pipit sebagai tanda syukur karena doa mereka terkabul.

Dalam artikel di kutilang.or.id tersebut, pelepasliaran burung tertentu di kawasan tertentu bisa menimbulkan dampak luar biasa jeleknya.

Dampak paling buruk yang dapat diakibatkan oleh kegiatan melepas burung adalah kepunahan. Salah satu contoh adalah punahnya Nuri talaud ras Sangihe (Eos histrio histrio). Ras ini diduga punah setelah terjadi kawin silang dengan Nuri talaud ras Talaud (Eos histrio talautensis). Proses kawin silang ini terjadi akibat lepasnya Eos histrio talautensis yang diperjual-belikan di daerah Sangihe oleh para pemburu.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Contoh lain adalah punahnya burung Atitlan Grebe (Podilymbus gigas) dan Alaotra grebe (Tachybaptus rufolavatus). Kedua jenis burung ini diketahui punah karena dilepaskannya sejenis ikan di danau tempat mereka hidup. Ikan yang dilepaskan tersebut ternyata memangsa ikan-ikan kecil yang menjadi makanan kedua jenis burung tersebut. Kalah bersaing dalam perebutan makanan, kedua jenis burung ini akhirnya punah.

Selain akibat kemungkinan terjadinya kawin silang (hibridasi) dan kompetisi, melepas burung juga dapat mengakibatkan tersebarnya penyakit atau parasit bagi burung-burung yang hidup di tempat kita melepaskan burung. Penelitian tentang hal ini masih sangat jarang dilakukan, sama sedikitnya dengan pengetahuan tentang penyakit dan parasit pada burung. Saat ini kita sangat kekurangan ahli yang memahami penyakit pada burung liar.

Melepasliarkan burung tanpa pengetahuan memadai adalah tindakan berbahaya. Kata berbahaya sangat patut disematkan dalam kegiatan melepas burung, karena berbagai fakta berikut. Pertama, sedikit saja kesalahan dalam proses melepas burung dapat berakibat fatal. Kedua, dibutuhkan biaya yang besar untuk melepas burung secara benar. Dampak terbaik dari berbagai dampak buruk melepas burung adalah kematian burung yang kita lepas. Jika tujuan dari melepas burung adalah untuk melestarikan suatu jenis burung pada suatu tempat tertentu, maka kegiatan itu wajib diikuti oleh kegiatan monitoring dan evaluasi secara ketat.

Pelepasan burung seringkali harus dilakukan secara berulang dan atau bertahap sampai dapat dipastikan keberhasilannya. Kegiatan dapat dihentikan ketika burung-burung yang kita lepas tersebut telah mampu bertahan dan berkembangbiak pada tempat kita melepaskan burung itu. Artinya, melepas burung tanpa dapat memastikan nasibnya adalah tindakan yang sia-sia; bahkan tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai tindakan pembunuhan berencana terhadap burung yang kita lepaskan.

Murai batu borneo di Sumatera

Borneo Zaka – Murai Banjar

Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.

Kelau kembali ke soal ditemukannya murai batu borneo di pasaran Sumatera, maka menurut saya itu adalah ulah sejumlah oknum untuk meraup keuntungan dengan membanderol murai batu borneo sebagai murai batu Sumatera.

Dalam konteks ini saya tidak mengatakan bahwa murai batu borneo jelek atau berkualitas di bawah murai batu Sumatera, hanya saja dalam hal harga di pasaran umum di Jawa apalagi di Sumatera, harga murai batu borneo jauh di bawah harga murai batu sumatera.

Sebagai perbandingan saja, pada bulan-bulan ini (Juni 2012) harga bakalan hutan burung murai batu sumatera (entah ekor pendek atau ekor panjang) non-ekor hitam di pasaran kota-kota Pulau Jawa berkisar antara 1 juta sampai 2 juta. Sedangkan harga murai batu borneo berkisar antara Rp. 300.000 sampai dengan Rp. 600.000. Sedangkan harga murai batu sumatera ekor hitam (murai nias atau murai kawasan pesisir lainnya yang dikenal sebagai murai ekot hitam/black tail) berkisar antara Rp. 450.000 sampai dengan Rp. 700.000.

Demikian sobat sekilas catatan saya tentang apa yang saat ini sedang dibicarakan orang tentang keberadaan burung murai batu borneo yang dibanderol sebagai murai batu sumatera.

Bagaimana menurut sobat?

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.

-7.550085110.743895