Lomba burung Walikota Cup Salatiga 7 Oktober 2012 adalah salah satu cermin adanya sisi karut marut dalam dunia  lomba burung di Indonesia saat ini. Dalam kasus itu, minimal ada beberapa poin penting yang perlu kita lihat. Pertama, ada juri yang dianggap memihak peserta tertentu. Kedua, ada peserta dengan kecenderungan marah besar ketika burungnya dinilai jelek. Ketiga, ada panitia yang tetap memakai juri yang dianggap bermasalah.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Lomba Burung Walikota Cup Salatiga – mengapa terjadi rusuh…

Semua karut marut itu telah menunjukkan bahwa lomba burung bukan sekadar sarana untuk meraih sebuah pencapaian prestasi burung yang dikoleksi, namun sudah sejak lama ajang ini juga menjadi sarana menunjukkan jatidiri sang pemilik. Maklumlah, bukan hanya prestasi, tapi prestise atau gengsi sang pemilik dipertaruhkan. Pada sisi lain, nama besar burung maupun pemiliknya kerap menjadi magnet bagi event organizer yang didatanginya. Sebuah even akan terdongkrak pamornya bila didatangi para kicaumania ternama.

Karena gengsi atau harga diri bagi sebagian besar dari kita adalah segalanya, muncullah berbagai cara yang dilakukan pada kicaumania untuk mendongkrak pamor burung yang otomatis mendongkrak pamor pemiliknya. Oke, sebelum kita membuat sebuah kesimpulan tentang kasus Salatiga, akan lebih baik kalau kita melihat paparan dalam laporan Agrobur tentang cara-cara yang digunakan para kicaumania selama ini untuk mendongkrak nama. Hal ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, namun pantas kita simak sebagai rujukan untuk perenungan.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Pemain harus royal kepada juri?

Konon, bila ingin cepat populer di kalangan kicaumania, sang pemilik burung juga harus royal. Pengertian royal di sini biasanya menyangkut soal memberikan saweran buat para juri maupun rajin memberi sumbangan alias donatur buat para event organizer (EO).

Dengan kualitas burung yang menunjang, didukung sang pemilik yang royal, biasanya akan lebih mudah dikenal dan dijamin langganan juara.

Pengertian royal di sini bukan berarti mengiming-iming uang sebelum acara lomba dimulai alias menyogok. Meskipun cara ini juga sering dilakukan pemain tapi biasanya hal itu berlaku untuk burung proyek alias burung dagangan. Jadi royal di sini adalah seberapa murah hati sang pemilik memberikan saweran kepada juri bilamana burungnya menjadi juara.

Biasanya hal ini terjadi setelah burung juara dan selesai lomba. Ibaratnya, sebagai “tanda terimakasih”.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Jadi, seberapapun uang yang digelontorkan untuk belanja burung unggulan, dengan materi burung istimewa, tidak jadi jaminan burung akan jadi juara terus-menerus meskipun burung kerja maksimal. Jaminan bisa muncul bila sang pemilik suka bermurah hati terhadap juri maupun even organizer penyelenggara lomba. Tanpa “kemurahhatian”, maka ibarat sayur tanpa garam. Hal semacam ini bisa jadi akan membuka membuka peluang untuk bermain tidak fair meski tidak mutlak.

Tanpa kemurahhatian, bisa saja burung Anda akan menjadi juara jika memang oke. Tetapi ya itu, paling hanya satu dua kali, selanjutnya “dibuang” mejadi juara kedua atau ketiga.

Minimal itu pernah disampaikan oleh seorang joki senior asal Jabodetabek yang sering gonta-ganti bos.

Sang joki itu kini punya bos baru, tapi sang bos dikenal pelit luar biasa. Padahal burungnya semua istimewa karena dia memang berani belanja burung unggulan dengan nilai transfer yang fantastis.

Sayangnya, kalau sudah juara, sang bos ogah memberi “entertaint” seperti uang tanda terimakasih pada juri. “Setelah juara, selesai lomba langsung pulang. Kita kan jadi nggak enak sama juri, mereka semua kenal, dikiranya jatahnya kita yang ambil, padahal emang bos nggak kasih. KaIau mau sering juara harusnya ya jangan pelit-pelitlah,” gerutu sang joki menyesalkan kepelitan sang bos.

Pada even berikutnya, bisa ditebak. Jangan harap burung si bos tersebut akan juara I. Karena memang juri sudah mengenalinya.

Menurut penuturan sang joki, bila ingin dikenal dan cepat populer, ya harus menservis juri alias tidak pelit. “Tapi bukan dalam arti menyogok lho ya, dan hadiah kita sisihkanlah, sekedar ucapan terimakasih,” tandasnya lagi.

Sebab, dari dan pengalaman dia selama gonta-ganti majikan, bila sang pemilik burung itu murah hati dan burungnya juga berkualitas, sudah pasti, setiap turun pasti juara. Karena semuanya saling mendukung.

Jadi, bila ingin cepat populer, selain burungnya yang harus selalu juara, sang pemilik juga harus “murah hati ” menyisihkan sedikit hadiah sebagai tanda terimakasih.

Masalah yang terjadi

Apakah dampak dari fenomena peserta yang murah hati tersebut? Dalam kondisi ekstrim, ya kasus rusuh di Salatiga itulah yang akan terjadi. Ketika ada juri yang biasa “dientertaint”, maka tanpa dia sadari, dia akan berat sebelah ketika melakukan penilaian. Dia akan cenderung melihat sisi baik dari burung yang dia nilai ketika dia menghadapi burung dari peserta yang sering bermurah hati kepadanya.

Atau kalaupun dia sudah berusaha bertindak adil, maka dia akan tetap dicurigai karena kebiasaan menerima “kemurahhatian” dari peserta tertentu itu.

Lantas bagaimana dengan si pemain yang murah hati itu? Apakah hal ini memang sudah menjadi “kebiasaan” para pemain top? Apakah hal itu telah “membudaya” di kalangan tertentu? Simak ya artikel berikutnya. (Artikel I dari 4 Artikel/Bersambung ke artikel 2)

Artikel lain:

Silakan tinggalkan komentar dan segera lihat-lihat yang ini ya:

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.

-7.550085110.743895