Kali ini Om Kicau akan memaparkan pengalaman menarik Om Adi Pirang, salah seorang kicaumania senior dan juri lomba di Jambi, ketika menangkarkan kacer jawara bernama Daglex DW. Pengalaman ini dapat mengingatkan kepada para penangkar pemula dan calon penangkar kacer, bahwa memang tak mudah mengembangbiakkan burung fighter yang satu ini. Tapi pada akhirnya ada satu pelajaran yang bisa dipetik, bahwa tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Sebab, Om Adi kini bisa mendapatkan anakan dari kacer yang pernah malang-melintang di Sumatera.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Adi Pirang mulai menggeluti burung kicauan sejak tahun 2000. Beberapa organisasi terkait dunia burung pernah diakrabinya, bahkan pernah dipercaya menjadi Ketua Metro BC Jambi dan Ketua Latber Jambi BC.
Dia lalu tertarik menjadi juri, diawali dari juri independen, kemudian mengikuti Diklat Juri PBI Cabang Jambi, dan pernah menjadi juri muda dalam lomba yang diadakan PBI Pusat di Ragunan Jakarta. Tak terhitung lagi berapa kali ia menjadi juri lomba di Jambi dan sekitarnya.
Belakangan, Adi Pirang kembali tertarik menjadi pemain. Dia mendapatkan Daglex dari Zoel Bakung, pemilik Bajing Ireng (juara 1 even BnR Award 2013 di Jakarta, 3 Maret lalu). Zoel mendapatkan burung ini dari Om Surat, kicaumania di Sarolangun, Jambi. Saat itu, Daglex baru saja menjadi juara 1 Kelas Mega Bintang dalam even Piala Raja Kicau 2008 yang diikuti jago-jago di Sumatera.
Sejak di tangan Zoel Bakung maupun Adi Pirang, Daglex tak pernah mengecewakan di arena lomba. Ia selalu masuk tiga besar. Daya tempurnya di lapangan lomba sangat tangguh. Dia memiliki variasi lagu komplet, dengan tonjolan-tonjolan khas terutama walang kecek dan cililin. Gayanya selangit. Sambil bernyanyi, selalu mengibaskan ekor, menatap langit, dan nagen di atas tangkringan. Tak heran jika juri selalu terkesima melihatnya. Berikut ini prestasi Daglex sebelum ditangkarkan pada April 2012.
PRESTASI DAGLEX DW
Tahun | Prestasi / Aktivitas | Tempat |
2008 | Juara 1 Lomba Nasional Piala Raja Kicau Sumatera | Hotel Ratu |
2009 | Juara 2 Lomba Regional Rajawali Cup | Selincah |
2009 | Juara 1 Lomba Lokal Jampres | Asoka |
2009 | Juara 1 Latber Mingguan | Asoka |
2009 | Juara 3 Latber Mingguan | Asoka |
2009 | Juara 3 Latber Mingguan | Asoka |
2009 | Juara 2 Latber Mingguan | Asoka |
2009 | Juara 2 Lomba Lokal Jampres | Asoka |
2009 | Juara 2 Lomba Regional Bulian Cup | M. Bulian |
2010 | Juara 3 Latber Bulanan | Asoka |
2010 | Juara 3 Latber Jumatan | Arizon |
2011 | Juara 2 Lomba Nasional Wali Kota Cup | Kota Baru |
2011 | Juara 1 Lomba Regional Bupati Cup | Tebo |
2011 | Juara 2 Nasional BnR | Taman ACI |
2012 | April s/d sekarang dalam kandang penangkaran | |
2013 | Januari : Anakan Daglex umur 3 bulan |
Sejak April 2012, Daglex masuk kandang penangkaran, dalam kondisi masih berprestasi. Bahkan empat bulan sebelumnya, akhir 2011, Daglex menjadi juara 2 dalam Lomba Nasional BnR di Taman ACI Kota Jambi. Ketika itu, hanya ada dua burung asal Provinsi Jambi yang masuk tiga besar. Selain Daglex, satunya lagi adalah Bajing Ireng.
Keputusan Adi Pirang untuk menangkar Daglex ketika masih berprestasi mengejutkan rekan-rekan kicaumania di Jambi. Tetapi Adi sudah berbulat tekad. Dia ingin mendapatkan anakan dari Daglex: sesuatu yang jarang dilakukan di Sumatera, setidaknya di Jambi.
Selama ini, burung jawara di Sumatera (apapun jenisnya) berakhir pada take-over ke kolega masing-masing. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di Jawa, Kalimantan, Bali, dan wilayah lain di Indonesia. Di Jawa, beberapa burung jawara memang sudah biasa masuk ke penangkaran, namun umumnya ketika usia mereka sudah menua, misalnya anis merah Juventus.
“Mengingat selama empat tahun berlomba, prestasi Daglex relatif stabil dan selalu masuk tiga besar, saya berpikir, mengapa tidak diternak saja biar menghasilkan anakan berkualitas,” tutur Adi Pirang, sebagaimana diceritakan Om Kelana Lana untuk omkicau.com
Pertama kali diperkenalkan dengan kacer betina, Daglex langsung memamerkan kicauan terbaiknya. Dia terus merayu, sambil mengeluarkan senjata andalannya berupa suara walang kecek dan cililin.
Selama satu hari satu malam, Daglex terus bernyanyi tanpa henti. Adi Pirang sampai cemas, khawatir suaranya menjadi parau atau serak. Mungkin karena betinanya jual mahal, Daglex merasa diabaikan, sehingga terus ngebombal, dan itu dilakukan dengan mengeluarkan nyanyian terbaiknya.
Adi Pirang mengaku kesulitan menjodohkan Daglex dengan burung betina. Untuk membuat kedua burung akur saja butuh waktu 3 bulan. Pada bulan pertama, kedua burung dimasukkan ke sangkar masing-masing, dalam kondisi didekatkan.
Pada bulan kedua, kedua burung mulai disatukan dalam sangkar. Adi Pirang menggunakan sangkar murai batu, dengan dua tangkringan, sebagai tempat menyatukan kedua kacer berlainan jenis itu.
Sebelum dimasukkan ke sangkar penangkaran, kedua burung menjalani mandi bersama di karamba mandi. Ia sempat menurunkan posisi tangkringan atas, agar kedua burung bisa lebih akur.
Bulan ketiga, kedua burung pindah ke sangkar yang lebih kecil, yang biasa digunakan untuk hwamei betina. Kedua burung masih menjalani mandi bersama di karamba. Akhirnya, Daglex benar-benar mau berjodoh, dan tidak lagi menyerang pasangannya.
Dipindah ke kandang penangkaran
Setelah benar-benar berjodoh, Daglex dan pasangannya dimasukkan ke kandang penangkaran di belakang rumah. Pada bulan keempat, keduanya mau kawin. Itu terlihat ketika induk betina mulai mengangkut rumput kering yang ditebar di lantai kandang. Rumput kering diangkut ke kotak sarang, yang dibuat Adi Pirang dari bahan kayu.
Harapannya membuncah, ketika induk betina menghasilkan 3 telur. Tetapi, suatu hari, Adi tersentak kaget melihat semua telur hilang tanpa sisa. “Saya bingung, kok bisa hilang. Saya pikir, pasti dimakan tokek,” ujar Adi Pirang.
Sejak itu, Adi terus mengawasi kandang penangkaran. Kebetulan induk betina mengeluarkan telur keempat. Saat itulah Daglex kepergok memakan telur yang baru dikeluarkan pasangannya.
“Pada bulan ketujuh, ketika induk betina bertelur lagi, Daglex langsung saya angkat dan masukkan ke sangkar terpisah. Hasilnya, empat telur selamat dan dierami induk betina. Namun hanya satu anak yang menetas. Itu pun hanya bertahan sehari, karena pada hari berikutnya mati,” tambah Adi.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Dia menduga, anakan itu mati karena terinjak induk betina. Sebab begitu menetas, induk betina dan kotak sarang dipindah ke sangkar biasa. Adi khawatir anakan tidak aman jika berada dalam kandang penangkaran.
Kalau dihitung, Adi sudah empat kali mengalami kegagalan selama 7 bulan. Dia lalu teringat cerita beberapa teman yang sering mengalami kegagalan dalam menangkar kacer, kemudian memilih untuk kembali berlomba. Tetapi Adi tidak mau menyerah. Ia terus berusaha, dan berusaha, sebelum impiannya untuk mendapatkan anakan Daglex tercapai.
Tiga induk betina mati diserang Daglex
Bahkan untuk meningkatkan peluang mendapatkan anakan dari Daglex, Adi Pirang menambah enam kacer betina lagi, yang dipelihara bersama dalam kandang penangkaran. Gila!!! Praktik poligami satu pejantan dan tujuh betina sekaligus dalam kandang yang sama.
Adi membeli enam betina baru dari beberapa pemain burung. Semuanya burung tangkaran, bukan burung bakalan. Untuk bisa menjodohkan betina baru, masing-masing dimasukkan ke sangkar kecil (sangkar ciblek). Setelah mulai akur baru dimasukkan ke kandang penangkaran yang berisi Daglex dan bini pertamanya.
Mau tahu hasilnya? Tiga ekor betina mati diserang Daglex. Sedangkan 3 betina lainnya (atau 4 termasuk bini pertama) tetap akur, dan sampai kini masih dipelihara dalam satu kandang.
“Bukannya saya tidak bisa memasangkan tiga ekor kacer betina (di luar bini pertama) dengan kacer jantan lainnya. Saya hanya ingin anakan yang menetas punya darah juara Daglex,” kata Adi Pirang, mengenai keputusannya mempoligamikan Daglex dengan tujuh betina, meski 3 betina akhirnya mati.
Pada bulan ke-8, Adi Pirang memetik buah manis atas kesabarannya. Induk betina (bini pertama) bertelur lagi, 3 butir, meski lagi-lagi hanya seekor yang menetas. Belajar dari kesalahan terdahulu, ia membiarkan induk betina dan anakan tetap berada dalam kandang penangkaran. Sementara Daglex dan 3 induk betina lainnya dipindahkan ke sangkar murai batu.
Sekarang anakan Daglex sudah berumur 6 bulan. Sejak kecil sudah dimaster walang kecek dan cililin. Master ini pula yang digunakannya untuk memaster Daglex. Cita-citanya sederhana, semoga anakan Daglex kelak bisa mengikuti jejak bapaknya, juga kacer-kacer jawara dari Jambi seperti Senpi, Jarum, Cakra, Suro, Matrix, Apollo, dan Gondrong, yang sering juara di Sumatera.
Kalau memungkinkan lagi, dia ingin anakan Daglex mampu mengikuti jejak Bajing Ireng, Solo Berrick, Speed Racer, Semar, Melissa, atau Satria Dewa yang sering menjadi juara nasional. “Saya memang belum sukses beternak kacer, apalagi sampai skala besar. Namun sudah puas hati ini bisa memiliki anakan Daglex, meski seekor, dan diberi ring Daglex JBI,” kata Adi Pirang, mengakhiri cerita pengalaman pahit dan manisnya selama setahun terakhir ini.
Semoga bisa menginspirasi Anda.