Kebun Raya Bogor yang terletak di pusat kota kini hanya memiliki puluhan jenis burung yang tersisa, akibat makin berkurangnya lahan terbuka hijau di Kota Hujan ini. Beberapa tahun terakhir ini, Kota Bogor memang makin gencar membangun beberapa fasilitas umum maupun komersial. Namun pelaksanaan pembangunan fasilitas ini terkadang melupakan salah satu aspek penting yaitu penghijauan. Akibatnya, keberadaan kota ini makin hari makin bertambah semerawut.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Berkurangnya lahan hijau disertai hilangnya sejumlah lahan terbuka hijau membuat populasi beberapa jenis burung kini dalam kondisi sangat mengkhawatirkan. Bahkan, pada tahun 2011, Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau Burung Indonesia mencatat hanya tinggal 50 jenis (spesies) burung yang tersisa di Kebun Raya Bogor.
Bukan hanya itu ! Bogor kini juga kehilangan salah satu jenis burung malam yang dulu pernah menjadi ikon kota ini, yaitu kelelawar.
Dulu, mereka terlihat bergelantungan di pohon-pohon yang ada di Kebun Raya, dalam jumlah ratusan bahkan ribuan ekor. Kini, sulit bagi kita untuk melihat keberadaan mereka.
Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin burung-burung yang terdapat di Kebun Raya dan sekitarnya akan berakhir tragis seperti para kelelawar yang beberapa tahun ini makin jarang terlihat lagi. Selain berkurangnya jumlah spesies, populasi untuk setiap jenis burung pun mengalami penurunan drastis.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Menurut LIPI, jumlah jenis burung di Kebun Raya Bogor pada tahun 1950 mencapai 150 spesies. Tapi jumlah tersebut terus mengalami penurunan, dan tinggal 90 spesies pada tahun 2006, lalu berkurang lagi menjadi 50 spesies pada tahun 2011. Berkurangnya jenis burung ini memiliki pengaruh besar terhadap ekosistem sekitar, mengingat burung merupakan indikator alami dari kualitas sebuah lingkungan.
Beberapa jenis burung kicauan yang kini sulit ditemukan lagi di alam liar Kota Bogor, termasuk Kebun Raya, antara lain ciblek, manyar, raja udang, kepodang / bincarung dan cekakak jawa. Dulu, burung – burung ini mudah dijumpai di sekitar Sungai Ciliwung.
Hilangnya lahan terbuka hijau, yang menjadi habitat burung-burung tersebut, menjadi penyebab utama mengapa populasi mereka makin menipis.
Seperti diketahui, Kebun Raya Bogor merupakan sebuah hutan perkebunan penelitian yang berisi aneka jenis pepohonan yang biasa ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Karena itulah, seharusnya tempat ini bisa menjadi habitat dari burung-burung yang ada di seluruh Indonesia, termasuk burung endemik di daerah tertentu.
Sayangnya, hal tersebut tidak terfikirkan oleh pihak-pihak yang berwenang menangani masalah ini. Selain itu, Kebun Raya Bogor juga menjadi salah satu tujuan dari migrasi burung-burung yang biasanya berlangsung sejak Oktober hingga Maret.
Fakta ini sekaligus mengingatkan bahwa menipisnya populasi burung di alam liar bukan semata-mata akibat maraknya hobi burung kicauan. Benar, hobi burung kicauan menyebabkan banyak burung di alam liar yang ditangkapi dan dipelihara dalam sangkar.
Tetapi, jika kita mau fair, pemanfaatan burung untuk dipelihara di rumah mestinya tidak membuat burung-burung “habis” di habitat aslinya, jika tidak ada faktor lain. Faktor lain yang dimaksud adalah berkurangnya lahan hijau terbuka secara drastis, khususnya di Jawa, serta kerusakan dan alihfungsi hutan di luar Jawa.
Sebagian kicaumania pun kini sudah menyadari arti penting konservasi, sehingga muncul banyak penangkar burung di sejumlah daerah. Om Kicau pun secara rutin menurunkan artikel mengenai penangkaran, dan ini juga mendapat respon bagus dari sejumlah kicaumania yang kemudian menangkarnya.
Lain halnya ketika lahan terbuka hijau lenyap, atau hutan-hutan mengalami degradasi bahkan beralih fungsi untuk keperluan ekonomi lainnya. Burung-burung non-migran pasti mengalami hambatan dalam proses reproduksi, bahkan kekurangan bahan pakan dan akhirnya mati, dan itu jumlah itu bukan sekadar belasan atau puluhan ekor, tetapi ratusan hingga ribuan ekor per habitatnya.
Masalah lain yang timbul adalah makin ramainya peemukiman di pinggir sungai dan industri yang membuang sampah serta limbah industri ke sungai. Ini mengakibatkan pencemaran dan menghilangkan pakan utama dari burung-burung seperti raja udang, cekakak jawa, dan jenis burung lain yang berhabitat di wilayah pinggiran sungai.
Hilangnya pakan tersebut mempengaruhi habitat burung yang terjebak pada dua pilihan, yakni bermigrasi atau bertahan dan akhirnya mati.
Berikut ini beberapa jenis burung yang tersia dan ditemukan di Kebun Raya Bogor, berdasarkan pengamatan seorang pengamat burung (birdwatching dalam blog pribadinya 4raptor pada Januari 2012 :
Kini masyarakat di Kota Bogor, termasuk pecinta dan penggemar burung, sangat menantikan tindakan lebih lanjut dari calon wali kota / wakil wali kota yang bakal bertarung September 2013. Bagaimana visi dan misi mereka dalam membuat Bogor menjadi lebih hijau dan mengembalikan kota ini sebagai habitat dan ekosistem dari burung-burung liar.
Mau dan mampukah mereka membuka kembali ruang terbuka hijau agar Kota Bogor kembali pada bentuk aslinya, yaitu “Kota dalam Taman”, agar kelak nasib burung-burung di alam liar bisa lestari dan dapat dengan mudah dilihat di habitatnya, bukan dalam bentuk pajangan seperti yang ada dalam gedung Museum Zoologi, yang terletak tepat di samping Kebun Raya.
—
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.
iya, tahun 2002 mah masih banyak sekali pada beterbangan. apalagi di deket tempat yang ada kolam or minimal air gitu.. salam,
Waktu mudik k jember bbrpa wktu yg lalu,brung manyar udah g klihtan batang hidungnya lgi,pdhal thun llu msh ada mskipun sdkit,klo bleh ju2r penyebab utama kpunahan bkan para penghobi brung tpi lbih k pembalakan liar yg merajajalela dan minimnya ruang trbuka hijau,krna pembangunan gedung2 dan perumahan yg g’ terkontrol.
Di Kota Jember aja,cuma ada+/-5 spesies(kutilang,trucukan,gereja,pipit,cinenen kelabu) yg msih ada di alam liar. 🙁